You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
None
Ikatan Pelajar Al Washliyah (IPA) merupakan salah satu organisasi bagian Al Jam’iyatul Washliyah. Al Washliyah adalah organisasi Islam yang didirikan di Medan pada tanggal 30 November 1930 oleh para pelajar senior Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) dan Madrasah Al-Hasaniyah. Di antara mereka adalah Ismail Banda, Abdurrahman Sjihab, M. Arsjad Th. Lubis, Adnan Nur Lubis, dan Yusuf Ahmad Lubis. Al Washliyah lahir di era penjajahan Belanda, sedangkan IPA lahir pasca kemerdekaan tepatnya pada tanggal 30 November 1953 di Medan. Selain IPA, Al Washliyah juga memiliki organisasi bagian lain yakni Muslimat Al Washliyah (MA), Angkatan Puteri Al Washliyah (APA), Gerakan Pemuda Al Washliyah (GPA), Himpunan Mahasiswa Al Washliyah (HIMMAH), Ikatan Guru dan Dosen Al Washliyah (IGDA), dan Ikatan Sarjana Al Washliyah (ISARAH). Buku ini berhasil menampilkan secara elegan sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ikatan Pelajar Al Washliyah, ideologi yang dianut (Islam, mazhab Syâfi‘i, dan mazhab Ahlussunnah Waljamaah), dan biografi sejumlah tokoh sentralnya. Buku ini wajib dibaca oleh para simpatisan, anggota, kader, dan pengurus IPA.
Ide penulisan buku ini digagas oleh Panitia Rakemas I & Milad ke 87 Muslimar .Washtiyah, yang bertujuan untuk menghimpun dan rnengabadikan Tema dan Materi yang telei dibahas dalam episocle-episode Mr-rslimat Mengaji di atas, sehingga menjadi khazanah keihnuan yar_sbermanl'aat bagi keluarga besar Muslimat Al Washliyah dan masyarakat. Buku Antologi ini, beris: tulisan dari para Narasumber Muslimat Mengaji, dan aktifis Muslimat AI Washliyah yang turu: berpartisipasi, sesuai dengan bidang dan minatnya. Pimpinan Pusat Muslimat Al washliyah menyambut dcngan bangga dan senang hati, serta memberikan apresiasi yang se-tinggi tingginya atas ide dan gagasan untuk menyusun buku.
When Muslim women from diverse national and cultural contexts meet one another through transnational dialogue and networking, what happens to their sense of identity and social agency? Addressing this question, Meena Sharify-Funk encountered women activists and intellectuals in North America, the Middle East, South Asia and Southeast Asia – women whose lives and visions have become linked by 'the transnational' despite their differing circumstances and intellectual backgrounds. The resultant work provides a rich and cliché-bursting account of women's reflections on a wide range of topics including: the status of women in Islam, the role of women as interpreters of religious norms, the relationship between secular and religious forms of self-identification, perceptions of Islamic-Western relations, experiences of marginalization, and opportunities for empowerment. Giving careful attention both to common threads in Muslim women's experiences and to the unique voices of remarkable women, this is a compelling account of conversations that are bringing new energy and dynamism into women's activism in a world of collapsing distances.
INTAN SURYANI Berkali-kali dia koma dan kemudian sedar semula... menyebabkan mamanya percaya bahawa dia mem punyai 9 nyawa berdasarkan sebuah mimpi. Dihitung jumlah ‘nyawa’ yang diambil daripadanya, lalu mengundang trauma. Sungguh dia tidak percaya... ketika koma, rohnya menyaksikan jasad sendiri yang terbujur kaku. HAKIM Si buta lagi yatim piatu ini menyara adiknya dengan penuh tanggungjawab. Hatinya sungguh luhur. Sesiapa saja akan terusik melihat keikhlasannya. Anugerah TUHAN... mata hatinya lebih ‘celik’. Dia bisa mendengar suara mereka yang berada di sempadan, antara hidup dan mati. Mereka berdua bertemu jua... di alam paranormal. Pertemuan itu merungkai sebuah kisah di sebalik cerita. Kejutan demi kejutan yang tidak disangka-sangka ter ungkai. Dan satu persoalan lain pula muncul - mengapa mereka tidak dipertemukan lebih awal?
None
Provides coverage of specific topics and issues in healthcare, highlighting recent trends and describing the latest advances in the field.
The Pulse of a Malaysian University discloses the research agendas of language scholars at a Southeast-Asian university, allowing western readers to gain deeper knowledge of an Asian perspective on language issues. In Part A, five authors address diverse ethnolinguistic/sociolinguistic issues such as the Minangkabau Pasambahan, media response to terrorism, negotiation discourse, bilingualism, and status of foreign languages. In Part B, four writers focus on the teaching of English in Malaysia with emphasis on grammar, reading, writing, and literature. Altogether, these essays feature important cultural and linguistic data revealing the range of insight and knowledge that Malaysian/Indonesian professionals possess on such issues.