You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
This book presents the first sustained analysis of Indonesian party politics in the post-New Order era and the first systematic application of the increasingly influential party institutionalization approach to the case of Indonesia.
Presents a genealogy of the social networks and power struggles of the major influential group of Indonesian educated Muslims called 'intelligentsia'.
This book explores Indonesian cinema, focusing on moments of unique creativity by Indonesian film artists who illuminate important but less-widely-known aspects of their multi-dimensional society. It begins by exploring early 1950s ‘Indonesian neorealist films’ of the Perfini group, which depict the ethos and emerging moral issues of the period of struggle for independence (1945–49). It continues by discussing four audacious political allegories produced in four discrete political eras—including the Sukarno, Suharto and Reformasi periods. It also surveys the main approaches to Islam in both popular cinema and auteur films during the Suharto New Order. One chapter celebrates the popular songs and B-movies of the Betawi comedian, Benyamin S, which dramatize the experience of the poor in ‘modernizing’ Jakarta. Another examines persisting Third World dimensions of Indonesian society as critiqued in two experimental features. The concluding chapter highlights innovation in a renewed Indonesian cinema of the post-Suharto Reformasi period (1999–2020), including films by an unprecedented generation of women writer-directors
This study presents the contemporary Islamic resurgence movement among young people in Bandung Indonesia, focusing on its emergence, development and routinisation. It traces various factors and conditions that contributed to the emergence of the movement. It also tries to explain how and why young people (students in particular) turn to Islam, and how the movement is organised and developed among students. Finally, it examines internal changes among various Islamic groups as responses to social, political and cultural changes.
None
How was a thirty-two year old authoritarian regime brought down and what augurs in its place? This book attempts to examine the background factors as well as the trigger that led to Suharto's resignation, amidst the power struggle that has been taking place in the opaque political world of Indonesia. Equally important, the ways in which the 'new' powerbrokers, with Suharto remaining influential in the background, have tried to adapt themselves to the new environment are also examined. Finally, the meaning of Suharto's resignation and what has changed and remained static are analysed.
Percakapan-percakapan dalam buku ini tentu saja menjadi semacam oase yang menyejukkan. Cerita-cerita yang dihadirkan merupakan inspirasi bagi kita untuk senantiasa “ngakak” di tengah zaman yang semakin ruwet, sebagaimana Gus Dur dan Gus Mus yang “enteng-enteng saja” menjalani kehidupan dengan segala macam persoalannya. Hubungan dua sahabat yang sama-sama memiliki “keistimewaan” ini ditulis dengan sangat brilian oleh K.H. Husein Muhammad, yang juga sahabat sekaligus pengagum berat Gus Dur dan Gus Mus. “Gus Dur adalah orang yang cerdik, sangat cerdas, dan menguasai banyak ilmu agama dan ilmu umum. Pengetahuannya sangat luas dan terbuka. Tetapi, boleh jadi Gus Dur juga dianugerahi...
"""Radikalisme yang baik disengaja atau tidak- mengatasnamakan islam, telah banyak mencemarkan nama baik islam di mata dunia, khusunya di bumi nusantara. Bahkan peristiwa tersebut menjadi penyebab utama terhadap munculnya kelompok-kelompok islam phobia yang anti islam. Hal ini secara otomatis memiliki efek domino terhadap stigma negatif -khusunya dalam persfektif Barat- terhadap apa pun yang berkaitan erat dengan islam termasuk di antaranya dunia pendidikan islam. Pesantren sebagai basis utama pendidikan islam di indonesia yang telah berdiri semenjak ratusan abad yang lalu, setelah terungkapnya beberapa teroris yang alumni pesantren-pesantren seringkali menjadi target bullying kedengkian med...
Sekali lagi tentang Gus Dur! Syaiful Arif, santri muda Pesantren Ciganjur, menyuguhkan perspektif baru perihal gagasan KH. Abdurrahman Wahid. Ia mengkaji pergulatan intelektual Gus Dur dalam kerangka ilmu-ilmu sosial di bawah kuasa negara Orde Baru. Difokuskan pada Gus Dur “pra-istana”—dekade 1970 hingga awal 1990—karena pada masa ini Gus Dur berperan sebagai intelektual organik yang merumuskan berbagai konsep pemikiran untuk diaplikasikan pada level gerakan, baik melalui pesantren, NU, maupun Forum Demokrasi (FORDEM). Buku ini lahir karena berbagai tipologi yang disematkan sejumlah pihak pada pemikiran Gus Dur banyak mengandung bias yang mengakibatkan paradigma tertentu menjadi domi...
Buku ini merupakan buku pembelajaran mata kuliah PAI untuk fakultas pertanian yang bila digunakan dengan tepat akan mempermudah dalam proses pembelajaran dengan menggunakan media google classroom. Di dalam modul ini terdapat 1 kegiatan pembelajaran dengan tema besar Ukhuwah Islamiyyah.