You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
A Literary mirror is the first English-language work to comprehensively analyse Indonesian-language literature from Bali from a literary and cultural viewpoint. It covers the period from 1920 to 2000. This is an extremely rich field for research into the ways Balinese view their culture and how they respond to external cultural forces. This work complements the large number of existing studies of Bali and its history, anthropology, traditional literature, and the performing arts. A Literary Mirror is an invaluable resource for those researching twentieth-century Balinese authors who wrote in Indonesian. Until now, such writers have received very little attention in the existing literature. An appendix gives short biographical details of many significant writers and lists their work.
Novel dan wacana sosial berhubungan secara dialogis, artinya wacana sastra mendapat inspirasi dari wacana sosial, lalu wacana sastra menjadi bagian dari wacana sosial karena perspektif yang ditawarkan bisa membantu masyarakat untuk memahami wacana sosial. Tidak ada teks yang berdiri sendiri, semua memiliki kaitan intertekstual dengan teks-teks lain baik yang mendahuluinya maupun yang mengikutinya. Kajian ini menunjukkan bahwa novel-novel yang ditulis sastrawan Bali sejak zaman kolonial sampai sekarang juga memberikan posisi sentral pada tokoh-tokoh perempuan dalam perjuangan untuk membebaskan diri dan kaumnya dari belenggu patriarki meski harus menghadapi berbagai penderitaan, penistaan, dan kepasrahan untuk kepentingan yang lebih besar. A.A. Panji Tisna, Putu Wijaya, dan Oka Rusmini melalui tokoh-tokoh perempuannya dalam novel melakukan berbagai upaya menembus kebekuan patriarki yang menghegemoni, di antaranya melakukan perjuangan dalam berbagai ranah seperti tradisi, kesetaraan gender, dan lain-lain. Fokusnya memberi interpretasi dan pemaknaan baru sekaligus sebuah perlawanan kultural terhadap tradisi dan peran perempuan di wilayah domestik dan publik.
Buku dengan judul Sastra Dan Identitas Budaya: Menggali Kearifan Lokal Melalui Karya-Karya Sastra dapat selesai disusun dan berhasil diterbitkan. Kehadiran Buku Sastra Dan Identitas Budaya: Menggali Kearifan Lokal Melalui Karya-Karya Sastra ini disusun oleh para akademisi dan praktisi dalam bentuk buku kolaborasi. Walaupun jauh dari kesempurnaan, tetapi kami mengharapkan buku ini dapat dijadikan referensi atau bacaan serta rujukan bagi akademisi ataupun para profesional mengenal Ilmu Sastra. Sistematika penulisan buku ini diuraikan dalam sebelas bab yang memuat tentang pengertian sastra dan identitas budaya, kearifan local dalam sastra lisan, identitas budaya dalam sastra tulis, sastra dan kearifan lokal dalam pendidikan, sastra dan identitas budaya di era digital, pembelajaran bahasa, sastra kiri, dan neoliberalisme, konflik identitas dalam karya sastra, kolonialisme dan identitas budaya dalam sastra, feminism dan identitas budaya dalam sastra, sastra dan revitalisasi identitas budaya lokal, dan peran sastra dalam mempromosikan pariwisata budaya.
"Saya sempat menyaksikan balkon tempat Nelson Mandela dulu memberikan pidato pertama setelah bebas dari penjara rezim apartheid. Nelson Mandela memang sosok luar biasa. Meski lama dipenjara oleh rezim apartheid, dia malah mengajak rekonsiliasi. Ini bedanya dengan di Indonesia. Dendam sejarah dipelihara untuk komoditas politik para politisi busuk.Ó Naik Puisi: Catatan Seorang Penyair-Pengelana adalah kisah perjalanan Tan Lioe Ie selama mengikuti festival sastra di berbagai negara dan di dalam negeri. Dengan gaya bahasa yang renyah, Tan Lioe Ie tidak hanya memotret perbedaan kondisi antara Indonesia dan negara-negara lain, tetapi juga bermacam peristiwa unik dan lucu yang dia alami bersama kawan-kawannya di berbagai tempat dan kesempatan. Ketika di Paramaribo, Suriname, misalnya, dia mampir ke sebuah toko suvenir yang menjual jimat untuk menang judi di kasino. Kepada kawannya, dia berbisik, ÒJika jimat untuk menang judi ampuh, mestinya dia tak usah repot membuka toko oleh-oleh. Dipakai saja sendiriÉ."
Essais et critique sur la culture, la littérature, et la langue indonésiennes.
Impact of political situations on literary works.
Directory of art and cultural institutions in Indonesia.
Investigation of the October 12, 2002 Bali bombings.
This book uses visual psychological anthropology to explore trauma, gendered violence, and stigma through a discussion of three ethnographic films set in Indonesia: 40 Years of Silence (Lemelson 2009), Bitter Honey (Lemelson 2015), and Standing on the Edge of a Thorn (Lemelson 2012). This exploration “widens the frame” in two senses. First, it offers an integrative analysis that connects the discrete topics and theoretical concerns of each film to crosscutting themes in Indonesian history, society, and culture. Additionally, it sheds light on all that falls outside the literal frame of the screen, including the films’ origins; psychocultural and interpersonal dynamics and constraints o...