You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
The Mission of Development interrogates the complex relationships between Christian mission and international development in Asia from the 19th century to the new millennium. Through historically and ethnographically grounded case studies, contributors examine how missionaries have adapted to and shaped the age of development and processes of ‘technocratisation’, as well as how mission and development have sometimes come to be cast in opposition. The volume takes up an increasingly prominent strand in contemporary research that reverses the prior occlusion of the entanglements between religion and development. It breaks new ground through its analysis of the techno-politics of both development and mission, and by focusing on the importance of engagements and encounters in the field in Asia.
The city of Manado and province of North Sulawesi have built a public identity based on religious harmony, claiming to successfully model tolerance and inter-religious relations for the rest of Indonesia. Yet, in discourses and practices relevant to everyday interactions in schools and political debates in the public sphere, two primary contested frames for belonging emerge in tension with one another. On the one hand, “aspirational coexistence” recognizes a common goal of working toward religious harmony and inclusive belonging. On the other hand, “majoritarian coexistence,” in which the legitimacy of religious minorities is understood as guaranteed exclusively by the goodwill of th...
Bagi sebagian awam, berfilsafat tidak jarang dipandang sebagai permainan kata-kata untuk memuaskan dahaga intelektual semata. Tidaklah demikian bagi seorang filsuf. Bagi seorang filsuf, berfilsafat tidak cukup hanya untuk mengenyangkan rasa ingin tahu, tetapi untuk dihidupi dan dilakoni. Tepatnya, berfilsafat diperlukan untuk membantu manusia menemukan kebenaran, berpikir kritis dan rasional, menata relasinya dengan alam, memahami ilmu pengetahuan secara tepat, menyadari keberadaan dirinya dan perubahan sosial yang terjadi di luar dirinya, menata relasinya dengan sesama supaya berjalan dengan baik dan benar. Berfilsafat dibutuhkan juga untuk membangun peradaban manusia melalui pendidikan. Ditulis dengan gaya bahasan yang berbeda-beda dan tanpa upaya untuk menggurui, artikel-artikel dalam buku kecil ini merupakan ajakan bagi para pembaca untuk berfilsafat demi hidup dan tidak untuk kepuasan intelektual semata.
Buku ini lahir dari keprihatinan terhadap kerusakan ekologi di Kepulauan Kei Provinsi Maluku. Kerusakan ekologi terjadi di wilayah yang masyarakat lokalnya menghidupi budaya lokal yang dinamai “Sasi Umum” atau “hawear”, yang diwariskan oleh para leluhurnya. Budaya lokal tersebut bertujuan melindungi hak-hak kepemilikan tanah maupun melindungi dan melestarikan lingkungan alam di daratan dan lautan atau bumi yang disebut dalam bahasa emiknya “Nuhu-Met”. Realitas tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian lapangan di Kepulauan Kei, untuk mendapatkan data tentang kerusakan ekologi maupun eksistensi budaya Sasi Umum. Data-data tersebut kemudian dijadikan sebagai teks budaya...
Gereja di Atas Batu Karang merupakan refleksi kepemimpinan Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC sebagai gembala di Keuskupan Amboina selama 25 tahun. Buku ini menunjukkan sesuatu yang sangat krusial pada zaman ini, yakni pendidikan dan pembentukan karakter, sebagaimana kita lihat melalui kehidupan sang jubilaris. Disusun dengan data dari narasumber terpilih, buku ini menjadi lilin kecil yang menerangi langkah-langkah kita dalam membangun fondasi keluarga yang kuat berbasis pendidikan nilai yang berkualitas. “Beliau adalah pribadi yang mampu mengemban tugas apa saja. Banyak hal bisa menjelaskannya, tapi satu yang pasti menjadi kunci, yaitu semboyan beliau sebagai uskup: Nil Nisi Christum (Tida...
Membuat refleksi merupakan keistinewaan manusia dibandingkan dengan makhluk infrahuman. Pentingnya refleksi dalah untuk semakin memaknai perjalanan kehidupan sekaligus membuatnya semakin baik. Dengan demikian refleksi menjadi bagian yang penting dalam hidup manuasia agar tindak tanduknya semakin bermutu. Fokus dari refleksi tentu bermacam-macam. Namun yang paling mendasar adalah dimensi hidup manusia itu sendiri. Buku berjudul Pergulatan Etika Indonesia ini merefleksikan tiga bidang kehidupan yang menyelimuti perjalanan hidup manusia, yakni budaya, filsafat dan Etika. Buku ini merupakan sebuah bunga rampai, dan dihadirkan dalam rangka 65 tahun Prof. Alois Agus Nugroho. Refleksi terhadap tiga bidang kehidupan manusia yang hadir dalam buku ini, yang juga menjadi bagian dari pergumulan filosofis Prof Alois selama ini, diharapkan dapat memberi insigt dalam pergulatan bangsa Indonesia dewasa ini untuk membangun kehidupan bersama yang semakin bermartabat berlandaskan nilai-nilai etis Pancasila.
Buku ini membahas secara mendalam tentang pikiran-pikiran filsafat Pancasila dari dua filsuf besar, yakni Prof., Dr. Notonagoro dan Prof., Dr. N. Drijarkara, SJ. Keduanya tidak diragukan lagi sebagai filsuf yang memberikan kontribusi besar bagi perumusan atau pengembangan filsafat Pancasila. Dengan latar belakang pendidikan filsafat dan sosio-kultural yang berbeda, membandingkan pemikiran kedua filsuf ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang filsafat Pancasila. Notonagoro dengan pendekatan esensialistik-nya berhasil merumuskan hakikat filsafat Pancasila yang besifat mutlak dan universal, sedangkan Drijarkara dengan pendekatan fenomenologi-eksistensialistik-nya berhasil membuktikan bahwa Pancasila merupakan cerminan kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Selain menawarkan rekonstruktif atas filsafat Pancasila, buku ini juga menyajikan usaha untuk mengontekstualisasikan filsafat Pancasila dalam kehidupan demokrasi Indonesia.
Merupakan Prosiding tentang Mencari metodologi berteologi baru untuk Indonesia dari para penggiat berteologi Indonesia dalam rangka launching program doktor teologi di STFT Widya Sasana. Aneka tulisannya dimaksudkan untuk memantik entusiasme aktivitas penelitian dan pengembangan model-model berteologi baru.
Kearifan lokal, Pancasila, dan filsafat Keindonesiaan merupakan tema-tema yang menjadi kerinduan para penulis buku ini. Kami, para pembelajar yang tergabung dalam Asosiasi Filosof-filosof Katolik Indonesia (AFKI), sungguh mencintai “Keindonesiaan” dan berusaha menemukan pesan-pesan kearifannya untuk revitalisasi makna Pancasila, yang oleh Bung Karno disebut, perekat atau penjaga keutuhan bangsa Indonesia. Buku ini terdiri dari 35 esai filosofis, berasal dari berbagai “Kearifan Lokal” yang membentang luas dan indah di seluruh tanah Indonesia. Esai kedua sampai kedelapan mengurai kearifan lokal “Ketuhanan”; kesembilan – keempat belas, “Kemanusiaan”; kelima belas – kedua puluh satu, “Kebersatuan”; kedua puluh dua – kedua puluh enam, “Musyawarah dan demokrasi”; dan kedua puluh tujuh – ketiga puluh dua, “tata Keadilan”. Adalah harapan kami, semoga esai-esai ini menjadi “butir-butir emas” Filsafat Keindonesiaan.
Bukalah buku sejarah manusia di mana pun dan Anda akan menemukan pertanyaan abadi: “Apa itu kebaikan dan apa itu kejahatan?” Inilah persoalan filosofis paling awet sepanjang sejarah. Berbagai jawaban telah dikemukakan. Ada filsuf yang berupaya memberikan jawaban tertentu untuk menuntaskan masalah ini, namun nyatanya dalam waktu singkat masalah ini muncul kembali dalam pemikiran orang lain. Sepanjang sejarah pemikiran manusia, ditemukan bahwa masalah baik dan jahat, yang kita bicarakan sebagai “etika” atau “masalah etis”, terus saja menantang setiap filsuf (S. E. Frost, Jr. 1962: 80-81). Buku Refleksi 30 Tahun HIDESI ini adalah bagian dari upaya memberi konteks pada pertanyaan aba...