You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
Beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, komik sempat menjadi bahan perdebatan—kendati kala itu belum ada komik yang menyinggung sang penguasa. Komik pernah disejajarkan dengan bacaan lain yang dianggap cabul. Komik bahkan pernah dirazia oleh guru dan sekelompok pendemo yang menganggapnya “merusak dan meracuni pikiran” pembacanya. Komik memang bukan buku pengantar tidur atau dongeng. Perlu intuisi yang tajam untuk mencerna komik. Oleh karena itu, yang menjadi titik fokus dalam esai ini adalah pertumbuhan dan watak tokoh yang merespons masalah sekitarnya. Kepekaan tiap komikus tentu saja berbeda-beda pula. Namun mereka semua sama: suka bekerja keras dalam menciptakan karya. Kumpulan esai ini berasal dari karangan di pelbagai surat kabar, ceramah, dan diskusi tentang komik.
Pekerja kontrak bangsa Indonesia pertama kali datang ke Suriname pada 9 Agustus 1890. Mereka ditempatkan di perkebunan tebu, kopi, dan pertambangan bauksit. Para pekerja kontrak umumnya direkrut melalui werek, seorang pencari tenaga kerja yang kerap kali tidak jujur. Bahkan cara merekrutnya, tidak jarang menggunakan ilmu mistik, dan guna-guna. Umumnya, calon pekerja itu diiming-imingi dengan janji yang muluk. Selain dari Indonesia, datang pula rombongan pekerja dari India dan Tiongkok. Hal ini yang membuat corak masyarakat di Suriname menjadi penuh warna. Supriono, seorang pemuda Jawa yang ikut kedua orang tuanya berangkat ke Suriname, menjadi saksi pergolakan hidup pekerja kontrak. Ia bergaul dengan segala lapisan masyarakat. Dari orang Tiongkok, Kreool, India, sampai bangsa Eropa.
Tembakau yang telah ditanam sejak 1862 menjadikan tanah Deli daerah yang lebih maju daripada kota-kota lainnya. Selain menjadi salah satu pusat seni pertunjukan, industri penerbitan majalah, surat kabar, komik, dan roman juga tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Modernisasi adalah napas kehidupan kota ini. Joesoef Sou’yb dan Matu Mona menjadi sosok yang sangat diperhitungkan dalam sejarah keberadaan roman-roman Medan. Karya-karya mereka sekarang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden (Belanda). Roman Medan lainnya juga disimpan di banyak negara seperti di Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Jepang, serta dimiliki oleh sekumpulan kolektor buku antik sebagai benda yang sangat bernilai. S...
Komik Tintin lebih familiar di telinga kita dibanding penciptanya, Georges Prosper Remi yang memiliki nama pena Hergé. Di Indonesia, komik Tintin populer sejak terbit pada tahun 1975 melalui penerbit Indira. Tintin sangat berpengaruh pada tahun 1980‒1990-an, saat komik-komik masih didistribusikan, selain di toko buku, melalui kios-kios penyewaan buku atau taman bacaan. Dalam salah satu tulisannya, Beng Rahadian mengambil satu sisi lain dari kepopuleran Tintin, yaitu pengaruh gaya menggambar‒yang kemudian ia sebut sebagai jejak Hergé ‒kepada komikus Indonesia. Meski tak banyak, kata Beng, penting sebagai catatan bahwa gaya Herge secara global telah memengaruhi komikus Indonesia yang masih bertahan hingga kini. Lalu, indikator apa saja yang digunakan untuk mengenali gaya Hergé? Siapa saja komikus yang sadar maupun tidak sadar terpengaruh? Dan apakah jejak Hergé hanya dalam komik? Jejak Hergé dalam buku ini juga beriringan dengan ulasan mengenai perkembangan media komik dan komunitas yang menghidupinya, komik sebagai media berekspresi, dan hubungan negara melalui komik.
Para pembaca komik di setiap masa akan menganggap segenap komik yang dibacanya adalah bagian dirinya; komik yang manapun, terjemahan maupun non-terjemahan (“asli” bahasa asing maupun Indonesia), bagian dari segenap unsur kebudayaan yang membentuk kebudayaannya. Inilah yang membuat naratif “komik Barat” (superhero, roman, dll.) begitu sahih terhayati sebagai “komik Indonesia”. Dalam konteks inilah, seorang pecinta komik seperti Anton Kurnia mengungkapkan kecintaannya secara konsekuen: tiada komiknya, kenangan atas komik itu pun jadi—meski secara konsekuen pula komik yang terngiang dan termimpi dalam atmosfir kenangan itu diburu, dan komikusnya jika perlu diwawancarai. Dapat diikuti bagaimana obsesi itu setapak demi setapak telah menjadi informasi berguna, berbentuk bacaan Buah Terlarang dan Cinta Morina: Catatan dari Dunia Komik ini. Seno Gumira Ajidarma
Beasiswa unggulan dari Kemendikbud RI dan fasilitas teknis dari Komite Buku Nasional (KBN) menjadi ihwal, sehingga residensi penulis dua bulan di Belanda (Juli dan Agustus 2017) adalah berkah bagi saya. Di Negeri Kincir Angin itu saya tak semata melakukan riset dan napak tilas jejak Raden Saleh—sebagai peranti untuk menyelesaikan sebuah novel berlatar sejarah yang saya tulis bersama Iksaka Banu—melainkan juga mengeruk secara rakus apa pun yang berpotensi menjadi sebuah pengalaman batin bernilai, berharga, bermanfaat. Satu di antara oleh-oleh yang kemudian lahir dan berwujud adalah kumpulan puisi ini. Saya mengunjungi sejumlah kota, selain Leiden sebagai tempat tinggal, karena Raden Saleh juga tinggal di Jerman, Prancis, dan singgah di Belgia, maka saya pun mampir dalam skala “kelebat” di Brussel, Brugge, Paris, dan Coburg (Dresden). Saya memasuki beberapa museum (hanya lima persen dari jumlah yang ada di Holland), selain mesti berpacu dengan waktu: meminjam buku-buku di Bibliotheek-universiteit Leiden.
Raden Saleh masih terlalu muda ketika dipisahkan dari keluarganya di Terbaya, Semarang, menjelang berakhirnya Perang Jawa. Kegeniusan dan tangan dinginnya dalam mengayunkan kuas tercium oleh para pejabat kolonial sehingga dia dikirim ribuan mil jauhnya menuju Belanda, sebuah negeri yang selama ini hanya didengarnya lewat cerita para kaum terpelajar Jawa. Terbukti dia mampu melukis bukan hanya sejarah dirinya yang gemerlap, melainkan juga wajah dan peristiwa zaman Romantis di Eropa. Bertahun hidup di tanah seberang, sang Pangeran justru merasa asing di tanah kelahirannya. Namun, tetap saja panggilan darah sebagai bangsa Jawa tidak dapat disembunyikannya di atas kanvas. Ditambah kegetiran yang...
THE STORY: When Mark McPherson first falls in love with Laura, he knows he's in love with a phantom--for Laura is dead, and he's in charge of her murder investigation. From her portrait, her letters, her personal effects and from his contacts with the thre
Delving into the anarchist writings of Nietzsche, Foucault, and Baudrillard, and exploring the cyberpunk fiction of William Gibson and Bruce Sterling, theorist Lewis Call examines the new philosophical current where anarchism meets postmodernism. This theoretical stream moves beyond anarchism's conventional attacks on capital and the state to criticize those forms of rationality, consciousness, and language that implicitly underwrite all economic and political power. Call argues that postmodernism's timely influence updates anarchism, making it relevant to the political culture of the new millennium.
Join Woody, Buzz, and the rest of the gang from the Toy Story films in this Toy Story 4 Movie Storybook! Includes retellings of all four Toy Story filmes in just one book!