You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
Majalah Pertambangan Edisi No 166 Februari-Maret 2022
Pemerintah mencabut seratusan izin tambang. Targetnya mencapai dua ribuan izin hingga akhir tahun ini. Pengusaha yang merasa dirugikan, boleh melayangkan protes dan gugatan. Alasan pemblokiran itu beragam, mulai dari tumpang tindih, proyek mangkrak, menerobos kawasan terlarang, dan sebagainya. Pemerintah ingin membenahi tata kelola izin. Selengkapnya ada di edisi ini.
Dedengkot produsen mobil listrik Tesla kembali menebar janji bakal berinvestasi di Indonesia yang sebelumnya sempat batal. Ada yang bilang, cepat atau lambat Tesla pasti masuk Indonesia. Sebab, sumber nikel ada di sini. Di sudut lain, deru laju pabrik bahan baku baterai kini mulai tampak. Harita Group jadi pemain perdana yang bisa produksi campuran endapan hidroksida, disokong pemain besar Tiongkok Ningbo Lygend. Tanur milik Tsingshan Group di Morowali dan Vale Indonesia di Pomalaa masih proses pembangunan.
Pertumbuhan alat berat Tiongkok melaju pesat mengikuti pertumbuhan ekonomi negara asalnya. Terutama berkat kebijakan Pemerintah Tirai Bambu yang mendorong perusahaan pelat merah untuk merambah pasar luar. Ini menjadi faktor utama alat Tiongkok banjir di berbagai belahan dunia, salah satunya Indonesia
Pembentukan BLU (Badan Layanan Umum) Batu Bara kian santer disuarakan oleh pelaku usaha. Net Zero Emission (NZE) menjadi tujuan dalam beberapa dekade kedepan. Selain hal tersebut, edisi kali ini juga banyak mengupas izin usaha pertambangan (IUP) yang menjadi ramai diperbincangkan karena jumlahnya yang sangat banyak.
Sejumlah kontraktor tambang ramai-ramai menggenjot produksi. Ketiban durian runtuh lantaran harga batu bara tengah terbang. Penyedia alat berat banyak yang kewalahan meladeni lonjakan permintaan. Tren harga komoditas pertambangan diprediksi masih akan moncer hingga dua tahun ke depan. Gejolak konflik Rusia-Ukraina yang membuat pasar Eropa membuka keran impor batu bara, belum pasti kapan mereda
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tegas mengumumkan bakal menyetop ekspor bauksit mentah pada Juni 2023. Mineral lainnya bakal menyusul kemudian. Meskipun Indonesia dinyatakan kalah dalam gugatan World Trade Organization (WTO) soal nikel, Jokowi berkobar menyatakan bakal melawanbalik. Hasil hilirisasi nikel di dalam negeri terbukti ampuh mengerek ekonomi nasional, termasuk menggenjot geliat di daerah penghasil. Misalnya Maluku Utara, ekonominya moncer di tengah gempuran badai pandemi. Pemerintah ingin hal serupa merambat ke sektor lainnya, bauksit, tembaga, hingga timah.
Pemerintah tengah merancang strategi pemulihan area-area bekas tambang di wilayah ibu kota negara Nusantara, di Kalimantan Timur. Berdasarkan data KLHK, ada dua ribu lebih lubang tambang atau . Total bukaannya seluas 29 ribu void hektare. Ratusan lubang di antaranya berukuran jumbo, lebih dari dua hektare. Selengkapnya beli Majalah TAMBANG edisi 167.
In Resource Nationalism in Indonesia, Eve Warburton traces nationalist policy trajectories in Indonesia back to the preferences of big local business interests. Commodity booms often prompt more nationalist policy styles in resource-rich countries. Usually, this nationalist push weakens once a boom is over. But in Indonesia, a major global exporter of coal, palm oil, nickel, and other minerals, the intensity of nationalist policy interventions increased after the early twenty-first-century commodity boom came to an end. Equally puzzling, the state applied nationalist policies unevenly across the land and resource sectors. Resource Nationalism in Indonesia explains these trends by examining the economic and political benefits that accrue to domestic business actors when commodity prices soar. Warburton shows how the centrality of patronage to Indonesia's democratic political economy, and the growing importance of mining and palm oil as drivers of export earnings, enhanced both the instrumental and structural power of major domestic companies, giving them new influence over the direction of nationalist change.
Indonesia is the world's largest archipelagic state. In 2001 it embarked on a 'big bang' decentralization involving a major transfer of administrative, political and financial authority to its districts, now numbering more than 500. Together with the rapid transition from authoritarian to democratic rule in the late 1990s, this initiative has transformed the country's political, social and business life. While national government is the major area of contestation, power has shifted irreversibly away from the centre. How this significantly increased regional autonomy works will have a crucial bearing on the future of the Indonesian nation-state. This volume features contributions by over 40 writers with deep expertise on Indonesia. The book provides a timely, comprehensive and analytical assessment of the country's regional development dynamics in the post-decentralization environment. It explores historical, political and development patterns at the regional level; the relationship between decentralization and governance; local-level perspectives; migration, cities and connectivity; and the challenges confronting the peripheral regions of Aceh and Papua.