You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
Minority Stages: Sino-Indonesian Performance and Public Display offers intriguing new perspectives on historical and contemporary Sino-Indonesian performance. For the first time in a major study, this community’s diverse performance practices are brought together as a family of genres. Combining fieldwork with evidence from Indonesian, Chinese, and Dutch primary and secondary sources, Josh Stenberg takes a close look at Chinese Indonesian self-representation, covering genres from the Dutch colonial period to the present day. From glove puppets of Chinese origin in East Java and Hakka religious processions in West Kalimantan, to wartime political theatre on Sumatra and contemporary Sino-Sun...
The book addresses the issues of China’s soft power in Southeast Asia during the rise of China. This soft power includes Chinese language education and popular culture. With regard to Chinese education, prior to the rise of China, Chinese schools were catered to mainly overseas Chinese children. Non-Chinese seldom received Chinese education. However, the rise of China and the export of Confucius Institutes (CIs) changed the landscape as CIs are meant for the non-Chinese population as well. China’s educational soft power penetrated the larger non-Chinese community, making Chinese soft power more effective. Chinese popular culture has also infiltrated the non-Chinese population. Various ch...
Bagi kita, melewatkan begitu saja kesempatan untuk mempelajari sejarah jatuh bangunnya sebuah bangsa besar di dunia seperti Tiongkok adalah suatu kebodohan yang tak termaafkan. Namun, itulah yang terjadi selama berpuluh-puluh tahun hingga terbitnya Kumpulan Puisi Baru Tiongkok, karya terjemahan Soeria Disastra ini. Kita terlalu asyik tenggelam dalam air bah terjemahan teks-teks barat, bahkan meneguk segala eksesnya dengan penuh suka cita dan, tanpa disadari, selama itu pula kita memalingkan wajah dari sebuah tawaran belajar yang amat berharga. Dalam hal inilah, terutama, kerja penerjemahan yang dilakukan Soeria Disastra menjadi sangat berarti. Ia menyediakan cermin alternatif untuk kita agar lebih dapat mengenal diri sendiri. -Manneke Budiman (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia)
Soeria Disastra lahir di Bandung, 28 Mei 1943. Tahun 1980-1990-an mulai aktif menulis esai, puisi, prosa dan cerpen dalam bahasa Indonesia, menerjemahkan karya prosa dan puisi Tionghoa dan bahasa Indonesia, menerjemahkan karya prosa dan puisi Tiongkok ke dalam bahasa Indonesia, dan sebaliknya menerjemahkan puisi-puisi Indonesia ke dalam bahasa Tionghoa. Juga sesekalimenerjemahkan cerpen Tiongkok ke dalam bahasa Sunda dan sebaliknya. Tulisan-tulisannya dimuat pada koran harian dan majalah berbahasa Tionghoa di Indonesia dan harian lokal berbahasa Indonesia, di samping pada berbagai majalah berbahasa Tiongghoa di Hukong, Singapura, Malaysia dan Tiongkok. Selain itu, karyanya banyak pula yang sudah diterbitkan dalam beentuk buku. Dua buku hasil terjemahannya: Kumpulan Puisi Baru Tiongkok dan Puisi Klasik Tiongkok diterbitkan oleh Pustaka Jaya (2022). Buku Sekitar Puisi: Kumpulan Tulisan memuat 24 esai yang bertajuk seputar kesusastraan yang ditulis oleh Soeria Disastra.
Puisi Klasik Tiongkok memuat 69 buah puisi klasik yang berasal dari Tiongkok yang diterjemahkan langsung dari bahasa aslinya secara secara utuh dan cermat. Penerjemah secara piawai berhasil menyelaraskan setiap hasil terjemahan dengan budaya, logika, gaya, warna bahasa Indonesia, tanpa menjauhi wajah dan jiwa versi aslinya. Pada beberapa puisi bahkan diberi sedikit keterangan atau pengantar, untuk memudahkan pembaca memahami dan mengapresasi setiap diksi dan puisi secara keseluruhan.
Diakui atau tidak, maraknya aksi terorisme, radikalisme, konfl ik, dan peperangan atas nama agama menjadi bukti nyata atas ketidakberdayaan umatnya dalam memahami risalah agama (cinta) guna memberikan ketenangan, keselamatan, kedamaian, serta keteduhan hati yang bersumber dari rasa cinta kasih. Pasalnya, tidak ada nubuat agama yang mengajarkan pemeluknya untuk membenci, merusak, hingga berbuat kejahatan dengan berusaha menghilangkan nyawa orang. Justru setiap ajaran agama itu diperintahkan untuk menebar kebaikan, cinta, kasih sayang, perdamaian, dan membangun persaudaraan yang kian hari semakin terlupakan. Segala sumber tindakan kejahatan, kebencian itu dari hawa nafsu, angkara murka. Bila kita kuat memegang cinta, kasih sayang, dan welas asih, niscaya hidup kita akan bahagia, damai, dan dapat hidup berdampingan tanpa melihat segala perbedaan agama. Upaya menjalin komitmen umat beragama dan berkeyakinan untuk hidup bersatu dalam kedamaian dan harmoni ini perlu kita dukung secara bersama-sama.
Soeria Disastra lahir di Bandung, 28 Mei 1943. Tahun 1980-1990-an mulai aktif menulis esai, puisi, prosa dan cerpen dalam bahasa Indonesia, menerjemahkan karya prosa dan puisi Tionghoa dan bahasa Indonesia, menerjemahkan karya prosa dan puisi Tiongkok ke dalam bahasa Indonesia, dan sebaliknya menerjemahkan puisi-puisi Indonesia ke dalam bahasa Tionghoa. Juga sesekalimenerjemahkan cerpen Tiongkok ke dalam bahasa Sunda dan sebaliknya. Tulisan-tulisannya dimuat pada koran harian dan majalah berbahasa Tionghoa di Indonesia dan harian lokal berbahasa Indonesia, di samping pada berbagai majalah berbahasa Tionghoa di Hongkong, Singapura, Malaysia dan Tiongkok. Selain itu, karyanya banyak pula yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku. Dua buku hasil terjemahannya: Kumpulan Puisi Baru Tiongkok dan Puisi Klasik Tiongkok diterbitkan oleh Pustaka Jaya (2022).
Buku yang sedang Anda baca ini berisi sekumpulan tulisan penyair Acep Zamzam Noor tentang kepenyairannya, tentang makna puisi, tentang teman-teman seangkatannya, yang pada dasarnya merupakan kesaksian otentik Acep terhadap hubungan diri dan zamannya. Seorang penyair yang “berumah dan beranak pinak dalam timbunan sajak”, seperti diungkapka Chairil Anwar, akhirnya akan tiba pada pertanyaan mendasar: puisi ini sebenarnya apa? Dalam tulisan “Puisi dan Bulu Kuduk” (yang dijadikan judul bukunya ini) Acep Zamzam Noor mencoba mendefinisikan puisi itu apa? Begitu pula dalam beberapa tulisannya yang lain dia ada menyinggung persoalan yang amat esensial bagi orang yang memilih hidup sebagai penyair. Dan jawabannya tentulah spekulatif karena pertanyaan itu sebenarnya pertanyaan filosofis. Semua itu tergantung dari pengalaman hidup kepenyairannya dan sistem pengetahuan yang diperolehnya.
Sejak puisi esai ditulis Denny JA dan diterbitkan dalam buku Atas Nama Cinta, istilah puisi esai pun menjadi perdebatan dimana-mana, terutama di kalangan para penulis. Ada fihak yang menolak dengan keras, ada yang biasa-biasa saja, dan ada yang menyambut dengan gembira. Alasan penolakan puisi esai bermacam-macam. Tapi, yang paling ramai adalah alasan bahwa puisi adalah puisi dan esai adalah esai. Tidak bisa kedua hal itu disatukan atau dikawinkan. Buku puisi esai yang terbit menyusul terbitnya buku Atas Nama Cinta karya Denny JA adalah buku kumpulan puisi esai yang ditulis oleh para penulis dan intelektual yang bukan penyair. Penulis yang tidak pernah membayangkan bahwa mereka bisa dan boleh menulis puisi. CerahBudayaIndonesia
None