You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
This is an open access book. Welcome to the International Joint Conference on Arts and Humanities 2023 held by State University of Surabaya.This joint conference features four international conferences: the International Conference on Education Innovation (ICEI) 2023, the International Conference on Cultural Studies and Applied Linguistics (ICCSAL) 2023, the International Conference on Research and Academic Community Services (ICRACOS) 2023, and the International Conference of SocialScience and Law (ICSSL) 2023 .It encourages dissemination of ideas in arts and humanity and provides a forum for intellectuals from all over the world to discuss and present their research findings on the research area. This conference was held in Surabaya, East Java, Indonesia on August 26th, 2023 - September 10th, 2023
Alongside case studies of individual artists, Global Studies outlines the histories of various regional art practices, exhibitions and ideologies. Among the topics covered are Indonesia's art market bubble; Austrian documentary filmmakers Intersections series; Zimbabwean stone sculpture of the past decade; Alighiero Boetti's Afghan embroideries; the influence of Chinese aesthetics on the opening ceremony at the 2008 Beijing Olympic Games.
Ada tiga perkara utama yang mendorong Wahyudin bertandang ke galeri seni rupa—yaitu mengampu, menonton, dan menulis. Ketiganya saling terkait satu sama lainnya seperti gerbong kereta api yang tak akan bergerak tanpa dihela lokomotif. Lokomotif dari ketiga perkara utama itu bukan mengampu, bukan pula menulis—melainkan menonton. Tanpa menonton ia tak akan bisa mengampu dan menulis atau mengulas pameran seni rupa. Jadi, menonton itu penting, bahkan wajib, bagi Pemenang Sayembara Kritik Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta 2005 ini. Dengan begitu, sebagai kurator dan penulis, ia beroleh privilese ke dan di studio perupa: melihat dari dekat proses penciptaan karya yang akan dipamerkan si perupa u...
Buku ini—menghimpun dua puluh enam tulisan atau esai—menyandarkan cinta kebijaksanaannya pada sepotong hikmah yang dituturkan oleh seorang kritikus kuliner skeptis dan sadis selepas ia menyesap semangkuk sup bikinan seekor tikus-chef di sebuah restoran masyhur yang hampir tumpas di sebuah sudut Kota Paris: “Not everyone can become a great artist, but a great artist can come from anywhere.” Dengan itu, buku yang berasal dari ampuan dan ulasan seni rupa ini ingin bercerita tentang produksi, peristiwa, dan kehidupan artistik lokal; tentang perkembangan estetik dan pencapaian artistik seorang atau sekelompok perupa di sejumlah kota Jawa Timur sekitar tiga belas tahun terakhir. Cerita-cer...
Ide untuk menyusun buku ini pertama kali muncul ketika penulis diminta untuk mengampu matakuliah Sertifikasi pada jenjang S1 Seni Rupa di Universitas Telkom, Bandung. Saat pertama kali mengajar matakuliah tersebut memang dirasa agak sukar untuk memberikan pengertian kepada para mahasiswa berkaitan dengan contoh-contoh dan pentingnya sertifikasi profesi. Sertifikasi profesi sebenarnya bukan hanya sekedar mengejar pengakuan melalui selembar kertas. Namun sejatinya sertifikasi ini berkaitan dengan bagaimana seseorang yang telah memproklamirkan dirinya sebagai seorang profesional di suatu bidang keahlian, memiliki kompetensi yang cukup serta memiliki rasa tanggung jawab terhadap profesi yang diembannya tersebut.
Buku ini merampai catatan-catatan polemis tentang peristiwa, pameran, dan buku seni rupa. Tiga puluh jumlahnya. Sebagian berganti judul, sebagian lainnya tak. Tapi itu tak sedikitpun mempengaruhi, apalagi mengurangi, keterusterangan dalam mengutarakan kebenaran yang menjadi dasar setiap tulisan di buku ini, bahwa karya seni rupa kontemporer bukan hanya produk artistik yang perlu dikademati dalam pemenungan sunyi insani, melainkan juga produk pengetahuan yang harus dicermati, diinterpretasi dan dievaluasi, secara saksama dalam tempo secukup-cukupnya. Dengan itu, saya memiliki kunci yang bermanfaat untuk tidak hanya menikmati dan memahami seni rupa kontemporer di Rumah Seni Cemeti, tapi juga m...
Pada satu tahun setelah Reformasi 1998, Wahyudin, seorang pemelajar antropologi, mendapati kenyataan mengejutkan: seni rupa kontemporer Indonesia benar-benar tak terjamah pengkaji dan peneliti antropologi di republik ini. Atas kenyataan itulah, dari pengalaman dan sudut pandang pemelajar antropologi dan penghayat seni rupa kontemporer Indonesia, buku ini terbit bersandar pada kebijaksanaan Nestor Garcia Canclini bahwa untuk memahami yang terjadi di dunia seni rupa dan budaya kontemporer, seseorang perlu menghabiskan banyak waktu di studio, galeri, museum, biennale, bursa seni rupa, dan simposium di banyak kota—berbicara dengan pemirsa yang menikmati atau menolaknya. Tak pelak lagi, buku in...