You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
A compelling account of the struggle for the soul of Indonesian Islam.
Muhammadiyah, together with the Nahdlatul Ulama (NU), are seen as the two pillars of moderate Islam in Indonesia. Muhammadiyah is currently often perceived to be the more conservative of the two and to have more affinity with Islamist groups. On political issues, for instance, it is steered by Islamist imagery. On cultural issues, Muhammadiyah is often guided by old enmity towards what is called the TBC (takhayul, bid’ah dan churafat; delusions, religious innovation without precedence in the Prophetic traditions and the Qur’an, and superstitions or irrational belief). This position has placed Muhammadiyah in an uneasy relationship with both local cultures and traditionalist Islam. Three ...
Leading scholars discuss how 'Islam' and 'liberalism' have been entwined historically and politically and how Muslims have thought about this longstanding relationship.
While many books have probed the role of Islam in political and social change in Southeast Asia over the past three decades, few have focused on the power of the religious discourse itself in shaping this transformation. Contemporary Islamic Discourse in the Malay–Indonesian World captures the interplay between religion and social thought in comparative case studies from Malaysia, Indonesia and Singapore. Drawing on a critical sociology of knowledge and a profound understanding of historical contexts, the central focus is on Muslim intellectuals who have grappled with the impact of modernity in these societies, between those seeking to reform Islam’s role and those who take a hardline de...
ÒLatar belakang kultur santri Hilmi membuatnya menghadirkan para tokoh dengan cara berbeda. Ia tidak melihat realitas secara hitam-putih, segalanya sangat bergantung dari kacamata mana kita memandangnya. Benar bahwa ajaran dan norma menjadi pengikat hidup manusia agar menjadi makhluk beradab, tetapi di sisi lain ada orang-orang yang terseret melakukan sesuatu yang tidak normatif, karena didorong keadaaan.... Di situlah, Hilmi Faiq berjalan seiring dengan pengarang-pengarang besar, seperti Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Ahmad Tohari, Budi Darma, dan Seno Gumira Ajidarma.Ó ÑPutu Fajar Arcana, penulis dan kurator cerpen Kompas ÒCerita-cerita ini berhasil membawa saya masuk ke situasi yang ti...
Bantaran Sungai Ciliwung Di sini aku mandi Di sini aku mencuci Di sini aku buang air Di sini aku dilahirkan Di sini aku dibesarkan Di sini aku tak mau mati di sini Hilmi Faiq dengan kacamata seorang wartawan menyoroti fenomena yang tumbuh di mayarakat. Hilmi Faiq dengan bahasa seorang penyair merangkainya menjadi larik-larik puisi yang tidak sekadar indah, tapi juga menyimpan gundah. "Puisi-puisi Hilmi Faiq adalah pembelaan terhadap yang mungil, yang terbengkalai sehari-harinya. Kecermatannya melihat orang-orang, terlebih lagi, kelembutan hatinya menghargai pasang surut hidup, terutama kesukaran yang merundung seolah-olah tanpa akhir." ---Saras Dewi, Sastrawan dan Pengajar Filsafat di Universitas Indonesia
The last quarter of the nineteenth century was crucial for the development of Kurdish nationalism. It coincided with the reign of Abdulhamid II (1876-1909), who emphasized Pan-Islamic policies in order to strengthen the Ottoman Empire against European and Russian imperialism, The Pan-Islamic doctrines of the Ottoman Empire enabled sheikhs (religious leaders) from Sheikh Ubaydallah of Nehri in the 1870s and 1880s to Sheikh Said in the 1920s-to become the principal nationalist leaders of the Kurds. This represented a new development in Middle Eastern and Islamic history and began an important historical pattern in the Middle East long before the emergence of the religiousnationalist leadership of Ayatollah Khomeini in Iran. This is the first work in any Western language dealing with the development of Kurdish nationalism during this period and is supported with documentation not previously utilized, principally from the Public Record Office in Great Britain. In addition, the author provides much new material on Turkish, Armenian, Iranian, and Arab history and new insights into Turkish-Armenian relations during the most crucial era of the history of these two peoples.
Kemampuan menulis bukanlah bakat, melainkan keterampilan. Selain itu, juga tidak tepat jika dihubungkan dengan alasan faktor keturunan. Siapa saja dapat menjadi penulis. Syaratnya hanya satu, mulailah menulis! Itulah keunggulan para penulis yang terkenal dewasa ini. Mereka tidak akan dapat menulis jika dulu mereka tidak pernah memulainya. Ada proses yang harus dilalui. Sama halnya ketika bayi harus belajar merangkak terlebih dulu untuk dapat berjalan. Banyak orang menjadi terkenal─juga menjadi menteri─karena menulis. Seorang penulis tidak hanya penyampai aspirasi masyarakat, tetapi juga pemberi haluan bagi yang meyakini jalan pikirannya. Penulis─menurut banyak pakar─adalah pencari ke...
manusia lebih tinggi dari gunung sepatu lars & peluru tak akan sampai di situ (ISTANA PASIR, GUNUNG, JALAN) aku tak beranjak, tetap menziarahi air mata menelisik rahasia kata, menyigi misteri kita (IGAUAN KABUT) seagung-agung manusia senentiasa menyimpan tinja (TINJA) saat kau cabut pohon rimbun kau mencabut paru-parumu. (AKTOR: SEBUAH NOTA) aku tak punya apa pun bahkan hidupku (SELEPAS MASKERAN) pada sambal terasi & lalap terbayang hamparan laut & ladang (PERTANYAAN KANAK)
None