You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
Pertambahan penduduk, terutama di perkotaan di Indonesia, sering menimbulkan banyak problem, antara lain dalam penyediaan perumahan akibat minimnya ketersediaan lahan. Salah satu solusi alternatifnya adalah pembangunan rumah susun. Namun di Provinsi Bali, khususnya di kawasan Sarbagita (Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan). pembangunan rumah susun dihadapkan pada kendala lain, yaitu adanya penolakan dari banyak pihak yang menganggapnya berbenturan dengan nilai-nilai budaya dan adat-istiadat di sana. Kondisi ini mendorong Balai Litbang Perumahan Wilayah II Denpasar untuk mengadakan penelitian pada 2019. Dari penelitian tersebut, diperoleh informasi bahwa sebenarnya para stakeholder menyadari kebu...
Kedonganan adalah nama sebuah desa di kaki Pulau Bali, tak jauh dari Bandara Internasional Ngurah Rai. Dahulu, desa ini menjadi salah satu desa nelayan yang terkenal di Bali selatan. Selain itu, desa ini terkenal karena memiliki hubungan sakral dengan air payau dan hutan bakau yang dahulu banyak tumbuh di wilayah desa. Dari masa ke masa, Kedonganan mengalami banyak perubahan drastis. Nilai-nilai budaya mulai luntur karena derasnya arus teknologi informasi dan candu-candu kapitalisme. Karena itu, penting kiranya nilai-nilai tradisional itu didokumentasikan sehingga siapa pun dapat membaca dan mengambil manfaat darinya. Semoga desa-desa lain di seluruh Indonesia menyusul dengan komitmen mereka untuk mendokumentasikan aset kultural mereka demi generasi masa depan.
This first English edition of the satirical Indonesian novel (1991) affords an overview of the Sukarno and Suharto eras and insight into the postcolonial condition This scathingly satirical and hilarious novel, first published in Indonesia in 1991, affords both a blithely irreverent overview of Indonesian history in the Sukarno and Suharto eras, and brilliant insights into the postcolonial condition. Mangunwijaya (1929-2001) was a well-known Indonesian political activist and writer, as well as a Catholic priest, engineer, and architect. Framed by the world of ritual shadow plays - the realm of witches like Durga and the goddess Umayi - Mangunwijaya's novel gives an unblinking but remarkably compassionate account of people caught up in the great nationalist maelstrom of Indonesia's recent history.