You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
Buya Haji Awiskarni Husin (1945-2020) adalah salah seorang ulama yang masyhur di Minangkabau. Ia adalah anak sekaligus murid dari Syekh Husin Amin, seorang ulama Syafi'iyah dan syekh Tarikat Nazqsyabandi ternama di Sumatera Tengah pada dekade ketiga abad 20. Syekh Husin sendiri belajar fikih Syafi'i pada Syekh Sulaiman Arrasuli. Sedangkan Syekh Sulaiman Arrasuli adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah seorang Imam dalam mazhab Syafii di Haramain. Jadi Buya Haji Awiskarni adalah ulama syafi'iyah generasi ketiga setelah Syekh Ahmad Khatib. Buya Awiskarni telah berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam. Darinya telah banyak lahir para ulama di sepanjang pulau Sumatera. Sehingga Buya Awiskarni Husin disebut oleh Muhammad Yusuf El-Badri sebagai Guru Seribu Ulama Minangkabau. Catatan para murid Buya Awiskarni layak disimak untuk melihat bagaimana kepribadian seorang Buya menjadi seorang ulama, guru dan teladan.
Buku ini membahas tentang alternatif pencegahan radikalisme agama. Bila kebanyakan upaya pencegahan radikalisme agama dengan menggunakan pendekatan kekuasaan yang justru tidak jarang berbau kekerasan, buku ini justru menawarkan cara-cara yang bersumber dari lokalitas yang dimiliki masyarakat setempat. Ternyata masyarakat yang pada dua wilayah kajian buku ini, telah mampu menolak kehadiran Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI), Salafi dan Lembaga Dakwah Islam Indoneisa (LDII) sebagai ormas Islam radikal di Indonesia dengan karakteristik lokalitas yang mereka miliki. Lebih dalam lagi, buku ini berisi kajian terhadap penggunaan kearifan lokal bagi pencegahan radikalisme agama dianalisis menggunakan teori-teori gerakan sosial komparatif, yakni teori struktur peluang politik, analisis framing, dan mobilisasi sumber daya.
Buku ini memuat kajian-kajian ke-Islaman yang meliputi dasar-dasar ajaran dan dasar-dasar nilai Islam yang perlu diketahui oleh seorang muslim sehingga buku ini diharapkan mampu memberikan sumbangan wawasan keIslaman yang nilai-nilainya bersifat universal kepada pembacanya. Munculnya krisis-demi krisis di tengah-tengah masyarakat muslim dipandang oleh para pakar disebabkan karena kurang terpahaminya Islam secara komprehensif. Akibatnya muncul sikap-sikap atau pandangan hidup yang bertentangan dengan semangat Islam yang rahmatan lil’alamin sehingga kehidupan umat Islam baik secara pribadi atau masyarakat menjadi jauh dari kehidupan yang rahmah.
Buku ini membahas tentang silsilah dan sanad tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau. Menurut penulis, Tarekat Naqsyabadiyah di Minangkabau telah masuk dan berkembang sejak awal abad 19. Tokoh utama pengembangan tarekat ini adalah Syekh Ibrahim Kumpulan. Setelah itu dilanjutkan oleh Syekh Ismail Simabur pada tahun-tahun berikutnya.
Buku Sejarah Kebudayaan Islam di Asia Barat ini adalah tentang Sejarah Islam Klasik (622 M-1250 M). Bahasan buku ini adalah pusat kekuasaan Islam yang sangat berperan dalam perkembangan sejarah kebudayaan Islam. Akan tetapi bahasan buku juga menjangkau wilayah di luar Asia Barat seperti Madinah, Damaskus, dan Baghdad, karena berada di bawah kekuasaan Islam yang berpusat di Asia Barat
Buku ini berisi tentang kajian karakteristik tafsir, ditinjau dari bagaimana aplikasi sumber, metode dan corak tafsir dalam kitab Risālat al-Qawl al-Bayān karangan Sulaiman al-Rasuli dan Kitāb al-Burhān karya Abdul Karim Amrullah. Selain itu disertasi ini juga mengkaji perbedaan penafsiran yang terdapat dalam kedua kitab tafsir tersebut. Buku ini merupakan hasil penelitian dengan sumber primer kitab tafsir Risālat al-Qawl al-Bayānkarya Sulaiman al-Rasuli dan Kitāb Tafsīr Al-Burhān karya Abdul Karim Amrullah. Sumber sekunder penelitian ini adalah kitab-kitab tafsir karya berbagai mufassīr dan buku teks yang berhubungan dengan penelitian. Kesimpulan penulis adalah penafsiran tekstual antara tradisionalis dengan modernis berbeda. Tekstual tradisionalis adalah menafsirkan al-Qur’an secara lahiriah dan memberi penafsiran secara harfiah. Sedangkan penafsiran tekstual modernis merupakan penafsiran yang tidak terlepas dari penafsiran harfiyah namun di dalamnya juga menggunakan nalar aqliyah. Perbedaan penafsiran antara kedua mufassīr tersebut bersifat variatif bukan kontradiktif.
Buku ini adalah hasil penelitian terhadap karya Haji Abdul Latif Syakur (1882-1963 M). Ia adalah ulama paling lama yang belajar dan diasuh oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangakabawi. Haji Abdul Latif Syakur adalah ulama yang terlibat membentuk konstruksi Islam Melayu-Indonesia. Pemikirannya tidak hanya melampaui ulama tradisional tetapi juga ulama modernis. Ia bicara tentang hubungan Islam dengan kemanusiaan, kebangsaan, dan kemajuan perempuan. Buku ini menarik untuk dibaca.
Keuntungan yang diperoleh di pasar sekunder hanya berputar diantara investor (sahibul mal) semata, tidak mengalir kepada mudarib (emiten) lagi. Ekonomi Islam sebagai bagian dari ajaran islam melihat jauh kedepan, bukan keutungan jangka pendek tapi jangka panjang, bukan hanya mengatasi tapi lebih bersifat mengantisipasi, bukan hanya berorientasi dunia tapi juga berorientasi akhirat. Oleh karena itu, pasar modal syariah secara umum dan pasar sekunder khususnya sebagai bagian dari praktek ekonomi islam apakah sejalan dengan tujuan ekonomi islam sendiri?
Buku ini membahas tentang pemikiran pendidikan Mulla Sadra. Menurut penulis, untuk membangun pendidikan integratif diperlukan konsep pendidikan Islam yang dirancang sebagai pendidikan yang benar-benar holistik dan terpadu.
Al-Farabi merupakan seorang filsuf yag berhasil mengintegrasikan filsafat Timur dan Barat. Lahir di daerah yang kini kita kenal sebagai Kazakhstan, ia melanglang buana ke berbagai pelosok Asia Timur. Menurut Al-Farabi, setiap manusia emiliki atau membawa pengetahuan potensial, namun tidak akan bermakna dan tidak mampu teraktualisasi sebelum ada pencerahan dari pengetahuan aktual. Al- Farabi menyamakan pengetahuan aktual. Al- Farabi menyamakan pengetahuan aktual atau intelek aktif ini dengan wahyu. Al-Farabi merupakan salah satu tokoh pendiri budaya filsafat Arab. Bahkan, ia dijuluki sebagai guru filsafat terbaik di Asia. "Kini filsafat menjadi lebih relevan untuk menjembatani perbedaan yang mencolok antara dunia Islam dab Barat," tulis The Economic Times. "Wacana Al-Farabi tidak akan pernah kehilangan relevan karena berkaitan dengan kebahagiaan, eksistensi diri, dan metode berpikir." ---Fahruddin Faiz, Ahli Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.