You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
The book examines whether the protection of Intangible Cultural Heritage (ICH) by Indonesia and Malaysia upheld the interests of the various communities from which the cultural heritage originates, and whether the laws recognise that cultural heritage is often shared with other states and communities. The legal classifications of various indigenous communities and the interpretations of ‘indigeneity’ in the two countries have presented problems in the context of ICH protection. The state is regarded as holding the intellectual property rights for some forms of ICH and this also posed problems in the implementation of the laws to protect the communities’ ICH. This book employs a community-based perspective and adopts a multidisciplinary approach in exploring questions of the rights to and benefits of heritage. This book will be useful for students, academics and policy makers with an interest in international law, heritage and intellectual property rights.
Inez Hanafiah, putri konglomerat dan sosialita ternama, memiliki hidup sempurna: menjadi pujaan para lelaki dan memiliki sahabat laki-laki yang siap sedia menjaganya, Nikratama “Niki” Zakrie, sejak keduanya tinggal di New York. Kehidupan Inez menjadi jungkir balik saat semua orang di sekitarnya pergi akibat fitnah dan persekongkolan keji. Semua, kecuali Niki. Bersama Niki, seharusnya hari-hari Inez semudah dan seindah masa SMA di New York dahulu. Namun, semua ternyata tak lagi sama: perasaan Inez, persahabatan mereka, bahkan rahasia kelam Niki yang membuat tubuhnya penuh luka. Jika dulu Niki selalu menjaganya, beranikah Inez melakukan yang sama dengan taruhan persahabatan, dan mungkin, cinta mereka?
“Kau pembunuh, Udin! Kau pembunuh!” Kalimah yang terbit di bibir Siti Sarah, kakak kepada Saifuddin itu terus terngiang-ngiang di indera dengar anak muda itu. Kerana kata-kata itu juga, dia membawa diri ke sebuah daerah di Indonesia. Dia berpaut pada kasih dan ehsan seorang murabbi, Kiai Hasan. Ketika itulah dia mengenal manisnya al-Quran. Beberapa tahun berlalu, dia kembali ke kampung halaman dengan izin Kiai Hasan yang sudah dianggap seperti bapanya. Dia pulang bukan lagi sebagai seorang penagih dadah, sebaliknya menggalas satu harapan, iaitu menunaikan hajat arwah ayahnya yang tidak kesampaian. Namun jauh di sudut hati, dia tertanya-tanya, sudahkah Siti Sarah mengampunkan dosanya? Di kampung, Saifuddin berusaha mengumpul dana untuk membina pusat pengajian al-Quran untuk golongan warga emas. Dalam diam Siti Zulaikha, majikannya memuji kegigihan lelaki itu untuk menegakkan tiang agama. Panas tidak sampai ke petang. Saifuddin disahkan doktor menghidap barah perut. Tanpa diduga, Siti Zulaikha menghulurkan kasih kepada Saifuddin. Mampukah Saifuddin menyambut salam kasih wanita itu? Hakikatnya, dia turut menyukai wanita itu, tetapi dia sedar hayatnya tidak panjang.
MENYANGKA yang dirinya telah dizalimi Eizhan, kekasihnya sendiri, Nur Naziha mula membenci lelaki. Dia kemudiannya bekerja di sebuah farmasi di Mentakab. Di situ, dia diburu cinta Lokman Azad, duda kematian isteri. Lemas dikejar cinta duda itu, Nur Naziha nekad letak jawatan dan kembali ke Kuala Lumpur. Tetapi, di kota raya itu juga hidupnya tidak aman. Eizhan yang tidak pernah melupakan Nur Naziha, terus mencari dan menagih cintanya. Begitu juga dengan Marzuki, abang tiri Eizhan yang ligat memburu Nur Naziha untuk memuaskan keegoannya. Kemudian, kemelut semakin meruncing apabila muncul Ridzuan Hakeem, seorang kanak-kanak lelaki comel di dalam hidup mereka. Siapakah sebenarnya Marzuki dalam hidup Nur Naziha? Dan siapakah kanak-kanak yang bernama Ridzuan Hakeem itu? Di antara Eizhan, Marzuki dan Lokman Azad, di pangkuan siapakah kasih Nur Naziha mendarat?
The emergence of modernity has typically focused on Western male actors and privileged politics and economy over culture. The contributors to this volume successfully unsettle such perspectives by emphasizing the social history, artistic practices, and symbolic meanings of female performers in popular music of Asia. Women surfaced as popular icons in different guises in different Asian countries through different routes of circulation. Often, these women established prominent careers within colonial conditions, which saw Asian societies in rapid transition and the vernacular and familiar articulated with the novel and the foreign. These female performers were not merely symbols of times that...
Shopping with Allah illustrates the ways in which religion is mobilised in package tourism and how spiritual, economic and gendered practices are combined in a form of tourism where the goal is not purely leisure but also ethical and spiritual cultivation. Focusing on the intersection of gender and Islam, Viola Thimm shows how this intersection develops and changes in a pilgrimage-tourism nexus as part of capitalist and halal consumer markets. Based on extensive ethnographic fieldwork in Malaysia, the United Arab Emirates and Oman, Thimm sheds light on how Islam and gender frame Malaysian religious tourism and pilgrimage to the Arabian Peninsula, but she raises many issues that are of great ...
Dalam diskursus mistisisme Jawa, Syekh Siti Jenar menjadi tokoh penting yang ajaran-ajaran tasawufnya terus dikaji hingga kini. Ia berbeda dengan tokoh-tokoh mistik yang sealiran dengannya, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumaterani, Ranggawarsita, dan lain sebagainya yang pemikiran dan ajaran-ajaran mereka mudah dilacak lewat buku-buku yang memang ditulis oleh mereka. Namun, bagaimana dengan Syekh Siti Jenar? Tokoh yang satu ini sama sekali tidak meninggalkan karya tulis. Tidak ada satu pun naskah autentik yang lahir dari tangannya. Lalu, dari manakah ajaran tasawuf Syekh Siti Jenar didapat? Buku ini melacak sumber primer yang jarang disentuh oleh para peneliti, bahkan oleh mereka yang telah menulis buku tentang Syekh Siti Jenar sekalipun. Selain itu, penulis juga meneliti sisi orisinalitas serta mengkaji pesan-pesan simbolik-sufistik yang menghiasi halaman-halaman naskah kuno tersebut. Selamat membaca!
“Puisi-puisi dalam buku ini cerminan khas dunia anak-anak: dengan diksi sederhana, sekaligus lincah dan ceria dalam menceritakan hal-hal yang dekat dengan mereka. Tidak semua orang mampu menuangkan isi pikirannya ke dalam tulisan, walau sederhana. Namun di buku ini telah tampak upaya untuk menumbuhkan dan membesarkan bibit kepenyairan yang dimulai sejak usia dini. Tentu saja, pendampingan untuk mengasah kemampuan anak-anak itu perlu terus diupayakan konsisten. Proficiat, anak-anak pemberani!” -Ratna Ayu Budhiarti, penulis.
This publication reveals the thinking of a group of Indonesian Muslim activists known as the Persatuan Islam. The group entering national debates in the period from 1923 to 1957 about the role that religion was to take in the emergence of an independent Indonesia.
The histQry of this book dates back exactly 20 years. When I first set foot on the shores O'f Indonesia in September 1947, I was, amongst other things, assigned the task 0'£ teaching Malay literature in an advanced teacher-training course, with the instructiOon to' lay stress on modern literature. This was easier said than done, as very little had been written Oon the subject, and few materials were available to me. From this period I recall with great gratitude the regular and friendly contacts I had with Mr. Sutan Takdir Alisjahbana, whO' in many ways me with information and documentatiO'n. helped The editQrs of the magazine "Kritiek en Opbouw" found my lecture nffies Qn some pre-war auth...