You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
None
PITA MAHA: Gerakan Sosial Seni Lukis Bali 1930-an diangkat dari disertasi Wayan Kun Adnyana di ISI Yogyakarta. Penulis tidak hanya berfokus pada sejarah Pita Maha, melainkan juga sejarah seni lukis Bali sebelum lahirnya gerakan sosial seni ini. Pita Maha sendiri, seperti diketahui, bukan sematamata komunitas pelukis biasa. Kelompok ini dalam perkembang annya telah menjadi semacam gerakan yang memiliki ideologi seni sendiri. Selama ini, tidak banyak kepustakaan yang mengulas fenomena Pita Maha. Karena itu, buku ini boleh dibilang sebagai buku pertama yang membahas sejarah Pita Maha secara lengkap. Agar lebih menarik, disuguhkan contoh-contoh lukisan Bali bergaya klasik dan gaya Pita Maha.
Setelah 12 tahun jilid pertama terbit, buku ini kembali hadir dengan 75 persen penambahan isi. Buku ini menghidupkan ingatan bersama dan sekaligus menggelitik kritisisme bagaimana Garuda ditafsirkan dan diperlakukan sejak dalam proses menjadi lambang negara. Membaca buku ini tiba-tiba saja kita (di)dekat(kan) kembali kepada memori masa silam dengan (visual) Garuda di rumah atau gapura kampung. Lalu, dari buku ini kita tertawa bercampur ironi melihat penampakan Garuda di kehidupan harian, baik dalam lingkup birokrasi negara maupun lingkup (suku) bangsa di berbagai kampung di perkotaan maupun perdesaan. ***** “Cara pandang unik terhadap lambang Garuda Pancasila dari aspek visual sosiologisnya dan asal usul penciptaan” ~ GARIN NUGROHO, sutradara film "... sosok burung garuda berungsi sebagai sarana untuk mewujudkan imajinasi kita, mengingatkan kita terus-menerus, tentang sebuah bangsa dan negara, sebuah negara-bangsa: Indonesia" ~ KRIS BUDIMAN, penulis dan pengajar "Apa yang disampaikan dalam buku ini menyadarkan kita tentang lambang resmi negara yang menjadi 'tidak ada'karena sudah tidak lagi jadi subjek yang dianggap penting" ~ M. DWI MARIANTO, kurator seni
Melalui pendekatan strukturalisme genetik Pierre Bourdieu, buku ini berupaya membuat model kelas sosial baru serta mengidentifikasi empat kelas sosial dalam masyarakat Indonesia kontemporer pada konteks kesejarahan tertentu. Keempat kelas sosial yang berhasil diidentifikasi tersebut adalah kelas elite, kelas menengah profesional, kelas menengah tradisional, dan kelas marhaen. Temuan menunjukkan bahwa kelas elite dan kelas menengah profesional cenderung memproses informasi politik dengan cara yang berbedaÑlebih rasional dan reflektif. Sementara, kelas menengah tradisional dan marhaen cenderung mengandalkan adaptasi sosial tanpa banyak pertimbangan. Hal ini memengaruhi bagaimana mereka memben...
Sejarah perdagangan narkotika sejak zaman kolonial sampai saat ini menunjukkan sejumlah hal yang patut dijadikan pelajaran. Fakta sejarah adalah informasi edukatif. Dengan mengenal sejarah, para penentu kebijakan, praktisi dan publik sebagai warga bangsa selayaknya dapat belajar banyak, agar tidak mengulang kesalahan masa lalu. Buku ini sebagai salah satu cara untuk mewujudkan upaya tersebut. Dalam tatanan ekonomi politik dunia perdagangan narkotika terbukti sebagai instrumen geopolitik yang andal. Lebih jauh hal ini mengarah kepada apa yang belakangan disebut sebagai narcoterrorism-meski masih perlu dipelajari lebih jauh. Tetapi terdapat kesamaan dari tujuannya untuk menghancurkan sebuah ba...
Ada tiga perkara utama yang mendorong Wahyudin bertandang ke galeri seni rupa—yaitu mengampu, menonton, dan menulis. Ketiganya saling terkait satu sama lainnya seperti gerbong kereta api yang tak akan bergerak tanpa dihela lokomotif. Lokomotif dari ketiga perkara utama itu bukan mengampu, bukan pula menulis—melainkan menonton. Tanpa menonton ia tak akan bisa mengampu dan menulis atau mengulas pameran seni rupa. Jadi, menonton itu penting, bahkan wajib, bagi Pemenang Sayembara Kritik Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta 2005 ini. Dengan begitu, sebagai kurator dan penulis, ia beroleh privilese ke dan di studio perupa: melihat dari dekat proses penciptaan karya yang akan dipamerkan si perupa u...
Agus Dermawan T, kritikus dan penulis puluhan buku budaya dan seni, mengawali dunia penulisannya lewat sastra puisi dan cerita pendek. Setelah menerbitkan buku Sekumpulan Puisi Pantang Kabur, kini ia mengumpulkan 30 cerpennya dalam Odong-odong Negeri Sulap. Cerpen ciptaan 1980 sampai 2022 ini membawakan berbagai tema seru: dari fragmen sosial, drama keluarga, horor, gelora perang, sampai romansa cinta anak muda. Semua disampaikan dalam warna sastra yang realis, magis, komedis, surealis, filosofis. Sehimpun bacaan yang bermutu! ? “Agus Dermawan T adalah penulis cerita yang bukan sekadar bagus. Bacalah! Menghibur, imajinatif, inspiratif, dan sering memainkan surprise – tidak lupa pula meninggalkan sesuatu untuk direnungkan. Reputasinya sebagai kritikus seni rupa, seperti mengalihkan perhatian dari kemampuannya dalam sastra. Syukurlah buku ini diterbitkan. Tidak ada satu pun ceritanya yang biasa, sehingga cocok belaka dengan seringnya ia menang di berbagai lomba.” —Seno Gumira Ajidarma, Penulis
BUKU INI berisi arak-arakan kisah kehidupan seniman besar dan seniman fenomenal. Juga ihwal ulah tingkah para pendukung kesenian yang seringkali banal. Lantaran jagat kesenian hampir selalu out of the box, maka kisah yang muncul pun acapkali aneh, absurd, heboh, tidak lazim, dan mengejutkan. Bahkan tak sedikit yang luar biasa dan gila-gilaan. Buku ini juga mengungkap cerita para seniman yang dianggap teroris oleh polisi. Karya seni yang paling besar, paling kecil, paling murah, dan yang paling mahal. Kematian sejumlah seniman yang menggemparkan. Tak lupa hikayat galeri dan suguhan kuliner perhelatan seni sejak 100 tahun silam, serta drama vandalisme seni yang keterlaluan. O, ya, sisik-melik ...