You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
Nayra terpaksa menyewakan rahim demi menyelamatkan keluarga tercintanya. Dia harus merasakan nikmatnya jadi wanita yang kedua. Mampukah Nayra bertahan dari tekanan yang diberikan istri sah dan mertuanya? Novel Romantis Novel Baper Novel Cinta Romantis Novel Keluarga Kisah keluarga Kisah Cinta Love Story Best Love Story Best Novel
Aku mempunyai seorang adik kembar yang bernama Raihana El Zahra. Sejak aku meninggalkan panti, kami berpisah hingga kini. Entah di mana dia sekarang berada, aku tak tahu. Rupanya kini seperti apa aku pun tidak mengerti. Hampir lima belas tahun lamanya kami berpisah. Masih teringat jelas dalam ingatan perpisahan kami pagi itu. Hana yang tengah sakit panas menangis tersedu-sedu di pelukan. "Lana ... aku mohon jangan tinggalkan aku!" pinta Hana lirih. Suaranya begitu lemah. Sorot matanya begitu sayu menyiratkan kesedihan yang mendalam. Wajahnya pias menahan demam. Siapa saja yang melihat pasti akan iba. "Hana ...." Aku memeluk gadis cilik serupa wajah sendiri itu. Usia kami hanya terpaut sepuluh menit menit. Dan aku yang terlebih dulu ke luar dari rahim ibu untuk menyapa indahnya dunia. ===== Kisah terusannya baca di novel ini
Persaingan antar saudara tiri. Serta ketidak berdayaan seorang ayah karena lebih mementingkan jabatan. "Kamu Upik abu dan aku tuan putrinya," ejek Alea sinis. "Selamanya anak tidak sah dari seorang wanita simpanan itu tidak akan pernah dilihat orang," lanjutnya kian mengejek.
Sungguh tiada pernah terbayangkan. Bila kedatanganku ke kota ini adalah suatu kesalahan besar. Begitu jauh aku berlayar dari luar pulau menyeberangi lautan demi bertemu Ibu dan kakak kandung tercinta. Namun, bukan bahagia yang didapat melainkan penderitaan panjang yang tak berkesudahan. Masih teringat jelas dalam ingatan. Siang itu kala ayah menghembuskan napas terakhir dan baru saja dimakamkan telepon dari ibu bergema. Dia dan kakak kandungku mengucap bela sungkawa. Meminta maaf karena tidak bisa turut hadir melayat karena jarak yang memisahkan. “Aku sendirian di sini, Bu. Istri Ayah sejak dulu tidak pernah menyayangiku. Aku takut, Ibu.” Aku bertutur sedih pada Ibu di telepon. Jilbab hi...
Suara ketukan palu terdengar nyaring. Sedikit menggetarkan dada dan seperti ada yang meremas hatiku. Namun air mataku enggan luruh. Mungkin bulir bening itu telah surut karena sudah acap kali tertumpah satu tahun terakhir. Berbeda denganku, Mas Ferdi tampak beberapa kali mengelap sudut matanya yang basah dengan punggung tangan. Ketika aku menoleh, mata kami bertemu padang. Aku dapat melihatnya menatap lekat dan memasang rupa yang mengiba. Aku memilih membuang muka, enggan terhipnotis wajah memelasnya. Cukup sudah. Aku lelah dan muak. Hari ini hakim telah memutuskan. Sudah tidak ada lagi hubungan antara aku dan Mas Ferdi. Baik secara agama ataupun negara. Semua sudah diputuskan termasuk hak a...
"Mas ... bangun." Suara lembut itu mengalun merdu di telingaku. Sayangnya udara pagi membuatku enggan membuka mata. Terlebih hawa dingin juga kian menambah malas untuk terjaga. "Ayolah, Mas, bangun! Udah siang lho." Kali ini suruhan itu disertai guncangan pelan pada tubuh ini. Perlahan aku membuka mata. Sosok cantik, imut, dan wangi Belina langsung menyuguhkan senyum menawan untukku. "Ini aku sudah buatkan kamu kopi," kata perempuan yang sudah kunikahi selama tujuh bulan itu dengan nada yang manja. Tidak lupa tangan Belina yang ramah lembut mengusap bagian tubuh bawahku. Seketika dada ini langsung berdesir. Gemas dengan tingkah genitnya, aku langsung menarik tubuh Belina ke dalam dekapan.
"Dar, aku balik dulu, ya." Aku yang sedang membuka loker langsung menoleh. Ternyata Marisa teman satu kosan yang pamitan. "Kok buru-buru banget. Katanya mau belanja dulu?" tegurku pada cewek dengan rambut sebahu itu. "Ah gak jadi deh, hari ini aku ada janji dengan pacar aku," jawab Marisa dengan pipi yang merona. "Pacar yang mana? Perasaan kamu kalo pulang gak ada yang menjemput," celetuk Rini teman aku yang lain. Kami semua adalah karyawan di sebuah distro. Dan toko kami biasa tutup pukul setengah enam sore, seperti sekarang ini. "Pacar aku itu spesial, jadi gak boleh dipamerkan ke sembarang orang," sahut Marisa sambil menaikan dagunya. Hal tersebut membuat Rini mencebikan bibirnya. Sedangkan aku hanya tersenyum saja. "Udah ya aku jalan dulu," pamit Marisa kemudian. Gadis itu pura-pura memeluk aku dan Rini sebelum akhirnya berlalu meninggalkan ruang ganti ini. "Aku kok kayak ngerasa Marisa menyembunyikan sesuatu deh sama kita," ujar Rini begitu bayangan Marisa tidak tampak lagi. "Maksudnya?" tanyaku sambil menutup pintu loker dan menguncinya.
"Mas, tahu gak bedanya kamu dengan jam dua belas?" Kening Haris berkerut mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Lusi. Wanita yang baru dinikahinya dua puluh bulan lalu. "Tau gak, Mas?" tanya perempuan berusia dua puluh enam tahun itu dengan nada yang manja. "Eum apa, ya? Gak tau tuh," sahut pria yang usianya lebih tua empat belas tahun dari istrinya itu menggeleng. Wanita yang tengah hamil besar itu meringis centil. "Mau tahu jawabannya gak?" "Iya dong," jawab Haris seraya menyuapkan nasi dan lauk ke dalam mulutnya. Pria itu tengah menikmati nikmatnya makan malam bersama sang istri baru. Lagi Lusi meringis centil. "Jam dua belas itu kesiangan, kalo kamu kesayangan," tuturnya seraya mencubit pipi pria yang duduk di sampingnya. Haris terkekeh. Istri barunya memang selalu membuatnya senang. Berbeda dengan istri lamanya yang selalu sakit-sakitan. Baginya Miranti memang selalu merepotkan. "Ahhh kenapa aku mesti keingat dia terus?" gumam pria yang masih terlihat gagah tersebut. "Kenapa, Mas?" tanya Lusi saat melihat suaminya bergumam sendiri.
“Aku bersedih atas kepergian anak sendiri, apa itu salah?" sindirku sedikit marah. "Tidak salah, tapi kamu udah berlebihan," tukas Jamie terlihat gemas. "Itu karena kamu tidak merasa kehilangan Gibran." "Kata siapa?!" Jamie mulai meninggikan suara. "Gibran anakku. Darah dagingku. Aku juga menangis saat tahu dia tiada, Kira. Tapi gak terus-menerus seperti kamu." "Kamu gak ngerti perasaan seorang ibu sih, Jam." Aku menunduk. Menyembunyikan genangan air mata pada kelopak. "Susah payah aku mengandung dia. Bertarung nyawa saat melahirkannya ke dunia. Lantas dia berpulang dengan begitu mudahnya hanya karena tersedak. Gibran masih terlalu kecil, Jamie. Masih kecil. Hu ... hu ... hu." Akhirnya, ta...
Ditinggal pas sayang-sayangnya. Ketika Senandung sudah mulai move-on dengan mau membuka hati untuk Kian, teman masa lalu. Ale sang mantan suami, justru kembali menawarkan kenyamanan. Lalu pada siapa hati Sena akan berlabuh?