You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
Perjalanan dunia batik di Indonesia telah mengalami gejolak yang beragam, naik dan turun tapi selalu bertahan. Kejayaan masa lampau adalah suatu kebanggaan, sama sekali tak boleh dilupakan, sungguh prestasi yang luar biasa. Tentunya generasi penerus yang bangga, dapat mengimbangi melalui caranya tersendiri. Batik Tamarin adalah metoda membatik yang diangkat untuk menyumbangkan upaya pelestarian batik tanpa mengusik tradisi warisan. Goresan batik tamarin yang mengusung tema cerita legenda dan mitos yang ada di Indonesia memiliki banyak potensi pengembangan industri batik terutama ditingkat perajin kecil. Kelak akan menjadi bagian dari sejarah dimasa mendatang. Sudah tiba saat semua anak bangsa menyumbangkan gagasan cemerlang hasil dari pemikiran dijaman sekarang yang diabadikan dalam teknik batik tamarin, sebagai terobosan melewati hambatan yang dihadapi perajin. Selain itu juga para perajin berkesempatan untuk memperbaiki tingkat ekonomi dengan kreativitas tinggi dan mampu bersaing di pasar Tak ada sesuatu yang lebih membanggakan, daripada turut memberikan sumbangsih yang memperkaya khasanah batik Indonesia masa kini.
Indonesian has been very attached with textile in their daily life for along time, perhaps this is the reason why The Nusantara has a wide range of textile, from materials, techniques, and products.
Medium tamarind yang ramah lingkungan masih jarang dilirik oleh seniman-seniman lukis wastra, bahkan tidak banyak orang yang mengetahui tentang keunggulan material ini untuk olahan alternative material dalam membuat karya seni lukis wastra.
Salam sejahtera untuk kita semua, saya menyambut gembira atas terbitnya buku yang mengusung tema budaya nusantara.
Karya-karya batik bercerita telah dianalisis berdasarkan teori Bahasa Rupa dan Kritik Seni Feldman. Batik yang dibuat saat ini (kontemporer), bila dilihat secara cermat masih menggunakan cara gambar layaknya batik tradisional. Hal tersebut dapat dilihat dari penggambaran aneka tampak, seperti pada penggambaran merak ngibing yang digambarkan dari samping, sedangkan sayap yang mengembang digambarkan dari depan. Ada beberapa ciri dalam penggambaran yang menggunakan RWD dalam batik bercerita, yaitu tampak samping (tampak khas) dan objek yang penting dibesarkan. Contoh ini misalnya pada pohon dan daun dalam cerita Gunung Guntur. Lalu bagian gunungnya sendiri juga digambarkan dengan RWD melalui penggambaran keluarnya lahar yang digariskan seperti bergerak. Melalui uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Bahasa Rupa RWD digunakan dalam gambar batik bercerita yang digambarkan di masa kini.
Applied studies scholarship has triggered a not-so-quiet revolution in the discipline of ethnomusicology. The current generation of applied ethnomusicologists has moved toward participatory action research, involving themselves in musical communities and working directly on their behalf. The essays in The Oxford Handbook of Applied Ethnomusicology, edited by Svanibor Pettan and Jeff Todd Titon, theorize applied ethnomusicology, offer histories, and detail practical examples with the goal of stimulating further development in the field. The essays in the book, all newly commissioned for the volume, reflect scholarship and data gleaned from eleven countries by over twenty contributors. Themes ...
Howard brings together top contributorsin avolume that provides a survey of new research and theoretical work on the topic of individualization. Topics covered include gender, social policy reform, and economy.
None
None
"Secondo la teoria dell'entropia si può presupporre che la condizione di disordine che abbiamo oggi nella vita moderna non sia un sintomo negativo...". Così dichiara Jim Supangkat, autorevole critico e curatore indonesiano, nell'introduzione di questo volume che indaga la scena artistica contemporanea del suo paese attraverso il lavoro di dieci artisti cardine. Similmente alla produzione artistica di altre piazze asiatiche, soprattutto Cina e India, anche l'Indonesiana celebra il caos come, appunto, sintomo globalizzato non necessariamente privo di possibilità espressive. Prosegue, infatti, Supangkat: "Quando il caos raggiunge il suo punto critico, il processo di decadenza e le condizioni di disordine si concludono e una nuova sostanza prende forma, con un livello di ordine che è del tutto differente da quello che esisteva prima...".