You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
In 2004, Indonesia had a second democratic election, which was also conducted in a peaceful and orderly manner. This book discusses Indonesia's transition towards democracy through the parliamentary and presidential elections, including an analysis of party activity in the provinces, in 2004.
Buku ini sangat penting dan relevan untuk melakukan koreksi dalam pembuatan undang-undang di masa yang akan datang karena beberapa hal sebagai berikut. Pertama, UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu proses penyusunannya tidak di tuntun oleh roh, gagasan dan cakrawala yang jelas, yaitu untuk mewujudkan pemerintah yang efektif serta mampu membuat kebijakan yang berorientasi kepada kepentngan rakyat banyak. Sehingga pembahasan hanya bersifat teknikal prosedural; wacana yang ditangkap publik, orientasi para pemutus politik hanya distimulir untuk kepentingan subyektif partai politik. Kedua, tertib politik demokrasi sangat rumit dan pelik. Opsi kebijakan atau putusan politik tidak mengenal benar dan salah, karena setiap regulasi memuat pertarungan kepentingan. Oleh sebab itu, meskipun buku ini memaparkan secara detail pilihan sistem pemilu disertai dengan berbagai komparasi dengan negara-negara lain, namun sangat kental dengan transaksi kepentingan. Akibatnya, UU ini terlalu banyak cacatnya, sehingga alih-alih dapat menjadi sarana konsolidasi demokrasi, tetapi justru membuat manajemen kekuasan negara semakin korup (rusak). Buku persembahan penerbit Formappi
Sejak dimulainya reformasi tahun 1998, Indonesia memasuki fase sejarah politik baru. Salah satunya adalah upaya “pemurnian” sistem demokrasi presidensial melalui amandemen konstitusi sejak tahun 1999 hingga 2002. Sebagian besar upaya pemurnian sistem demokrasi presidensial melalui amandemen UUD 1945 dapat dikatakan berhasil. Pelembagaan tiga prinsip pokok sistem presidensial terpenuhi, yakni (1) presiden dipilih untuk masa jabatan yang bersifat tetap; (2) presiden dipilih secara langsung oleh rakyat atau melalui dewan pemilih (electoral college); dan (3) presiden merupakan kepala eksekutif yang bersifat tunggal. Tiga prinsip tersebut tidak hanya telah dilembagakan melalui perubahan pasal...
Bila selama ini persoalan pilkada lebih banyak ditulis oleh pengamat, analis, dan ilmuwan, buku ini memiliki keistimewaan karena penulisnya adalah mahasiswa. Para mahasiswa ilmu pemerintahan ini berusaha menyoroti pilkada. Kemampuannya menganalisis persoalan pilkada patut diapresiasi. Hal ini menjadi bukti bahwa mahasiswa memiliki kontribusi dalam mewacanakan dan mendokumentasikan perjalanan pilkada di DKI Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Kota Malang. Tidak hanya itu, para mahasiswa ini juga mampu menangkap fenomena pesona petahana dalam suksesi kepemimpinan lokal, hingga peran MK dalam sengketa pilkada. Tidak hanya itu, buku ini juga memaparkan persoalan pentingnya pemasaran politik, penggunakan iklan politik, pertarungan para selebritas, hingga penggunaan kampanye hitam dalam pilkada. Dengan variasi isu yang diangkat dan dijadikan objek kajian menjadikan buku ini sangat layak dibaca dan dijadikan referensi bagi siapa pun yang memiliki ketertarikan dalam memahami pilkada dan demokrasi lokal di Indonesia.
Issues on direct voting in the Indonesian presidential election, 2004.
Pilkada telah memberikan ruang bagi munculnya tokoh-tokoh lokal dalam memimpin bangsa ini. Melalui pilkada langsung sejumlah tokoh pemimpin lokal hadir dengan membawa agenda perubahan sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Ada sejumlah pemimpin lokal yang berhasil menciptakan prestasi menggembirakan. Sebut saja Risma di Surabaya, Nurdin Abdullah di Bantaeng, Ridwan Kamil di Kota Bandung, Ahok DKI Jakarta dan seterusnya. Kepala daerah yang disebutkan tersebut merupakan pemimpin yang lahir dari 'rahim' masyarakat bawah.
Albert Hasibuan menulis buku ini setelah menyelesaikan tugasnya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden SBY. Berbagai pendapat dan aspirasi masyarakat yang terjadi dalam pertemuan dan audiensi dengan Wantimpres dicatat, dikomentari, dan diinterpretasi menjadi satu dalam Akuntabilitas Penasihat Presiden. Gagasan dan perdebatan tentang hak asasi manusia dan korupsi dibahas dengan gaya bercerita yang mengalir sebagai bentuk pertanggungjawabannya selama menjadi anggota Wantimpres.