You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
ÒIÕm happy to have been a part of history, however small my role was.Ó The words of Wardiman Djojonegoro reveal Indonesian history the way only a man who worked alongside Ali Sadikin, B. J. Habibie and Soeharto can. The modest 85-year-old, a former education minister and current foundation chairman at the Habibie Center, recalls the younger days of a Òbig villageÓ Jakarta and says it was the countryÕs third president who taught him the keys to national development. This is what Peter Zack, a reporter for the Jakarta Globe, wrote on 18 April 2009. In the present English translation of his 2014 memoir, Standing on the Shoulders of Giants: Reminiscences of Working with Three Great Indones...
The book was initially a dissertation had been pertained in front of the Senate of Universitas Diponegoro, on June 4, 2003. As clued by the title, it was aimed to explore and describe the legal thought fl ourished in Indonesia in the era of 1945-1990-s. It was focused on the development of legal thought, conducted through collection, inquiry, and inventory of various sources. The inquiry and inventory were deliberately determined within the framework of historical approach, meaning to put the thoughts in the context of space and time. By this perspective, the sources of the theory of law was utilized, both the general and special ones, related to any particular theories or respective period ...
The first book to focus solely on the Asian Games, this is an analysis of the Oriental rival to the Olympics in terms of its geopolitical, economic, sociological, historical, racial and aesthetic context, looking at its birth, growth and maturation from 1913 up until 2006. Written by a team of international scholars, this is a collection of original research and first-hand material from archives across Asia which addresses a number of issues central to notions of nationalism and Orientalism in sport including: the relationship between the Asian Games and the Olympic Games the challenge the Asian Games present to Western forces such as the IOC and international sports federations politics power structure and struggle in the Asian Games nationalism and cultural identity the relationship between Orientalism, Globalism and the Asian Games commercialisation of the Asian Games the contribution modern sport makes to social development in Asia the future of the Asian Games. This book was previously published as a special issue of Sport in Society.
Sampai sekarang, perempuan Jawa tidak melupakan Kartini, meski hanya sebagian kecil yang pada hari Kartini mengenakan kain kebaya. Tapi dengan sikap biasa-biasa, Kartini masa kini bisa mengagungkan Kartini. Nalarnya gimana? Bertanya lagi Toean Gossip dengan mendesak. Rerasan menjawab bahwa dewasa ini, kehidupan di sekeliling semakin hari semakin penuh dengan ketidak jujuran. Orang yang baik-baik semakin diplekotho dan dibodohi. Semakin diam, semakin diinjak. Orang tanpa malu memborong kesempatan. Menutup jalan bagi orang lain. Kalau bisa semuanya mau dipek dhewe. Kadang-kadang, seperti ini juga terjadi di pusat kegiatan budaya dan kemanusiaan. Keadaan semakin hari semakin mengerikan. Karena tidak ada lagi rasa rikuh dan pekewuh. Apa yang disebut teman hanyalah sementara. Begitu menyangkut kepentingan sendiri, siapa pun menjadi lawan ... Nah, pada kesempatan itu Kartini-Kartini masa ini harus tampil dengan membawakan semangat kesejukan dan keindahan hati.
Pak dokter segera memasang lampu pada jidatnya untuk memeriksa lubang telinga Rerasan. Dengan alat kecil dan pipih pak dokter men-cuthiki kulit lama terkelupas yang menutup kendangan. Hasil cuthikan-nya ditaruh pada kertas tissue. Ketika Rerasan memandangi kulit-kulit nglungsungi itu, seperti tampak setinggi gunung anakan. Wah, wah, wah. Mengerikan sekali. Pada lereng gunung ada lubang-lubangnya. Dari lubang keluar tikus-tikus. Segala macam tikus bersembunyi dalam tumpukan kulit yang menggunung itu. Ada tikus werok, tikus berit, tikus clurut, tikus mambu. Tikus-tikus itu mewakili berbagai macam watak yang kurang baik: serakah, drengki, srei, panasten, curiga, kurang percaya, cemburu, bernafs...
Struktur bahasa yang terkungkung dalam tataran baku, kerap tak diindahkan cerpenis dalam menulis karya sastra. Dan ini justru sering dipandang mampu menimbulkan sensasi dan nuansa khas kebahasaan seorang penulis. Demikian halnya pada buku The Magician, tulisan Bakdi Soemanto.
Menurut dosen dan instruktur senior Pusat Pelatihan Bahasa UGM, Alex H. Rambadeta, hal tersebut dapat membuka khasanah sastra berbahasa asing dari penulis Indonesia dan dapat menjadi bahan acuan sastra berbahasa asing bagi kelas perkuliahan (Bernas, 27 Agustus 2001). Menurut penulisnya sendiri, pembongkaran bahasa justru akan menimbulkan kesan yang mendalam, sebuah dekonstruksi yang malahan akan melahirkan kekayaan bahasa.
Terbitnya The Magician mengundang salut karena merupakan kumpulan cerpen berbahasa Inggris pertama dari penulis Indonesia. Di dalamnya terangkum delapan cerpen yang ditulis dalam bahasa Inggris oleh Bakdi Soemanto sendiri, sedangkan tiga cerpen yang lain, penterjemahannya dalam bahasa Inggris dibantu oleh Jeffrey A. Winters, Mark Carr, dan Kathy A. Pickle.
Galip adalah seorang pengacara yang tinggal di Istanbul. Suatu hari, Ruya-istrinya yang tercinta-menghilang begitu saja. Galip curiga Ruya meninggalkan dirinya demi Celal, seorang kolumnis surat kabar terkenal. Masalahnya, Celal pun ikut menghilang tanpa jejak. Dalam investigasi demi menemukan keberadaan sang istri, Galip mencoba menguak identitas Celal. Galip merasa, dengan mencoba berpikir sebagai Celal, memakai pakaian Celal, dan menjadi Celal, ia bisa menemukan petunjuk akan keberadaan istrinya. Namun, Galip melangkah terlalu jauh. Yang ia temukan justru misteri mengerikan yang dapat membahayakan nyawanya sendiri. The Black Book adalah sebuah novel brilian yang tak hanya menyuguhkan misteri, tetapi juga pemikiran provokatif tentang eksistensi, identitas, dan jati diri. Ditulis dengan sangat ahli oleh pemenang penghargaan Nobel bidang Sastra 2006, inilah karya Orhan Pamuk di mana ia menemukan gaya sejatinya dalam bercerita. [Mizan, Bentang Pustaka, Novel, Sastra, Filsafat, Indonesia]
Indonesian Postcolonial Theatre explores modern theatrical practices in Indonesia from a performance of Hamlet in the warehouses of Dutch Batavia to Ratna Sarumpaet's feminist Muslim Antigones. The book reveals patterns linking the colonial to the postcolonial eras that often conflict with the historical narratives of Indonesian nationalism.
Pendudukan Jepang di Indonesian mulai 1941 hingga 1945, adalah catatan sejarah mencekam saat bangsa Indonesia menuju kernerdekaannya. Pendudukan Jepang yang hanya tiga setengah tahun, menyisakan trauma panjang bagi bangsa Indonesia. Dengan premis akan memerdekakan Indonesia, Jepang berusaha menumbuhkan perasaan senasib di antara bangsa kita untuk melawan Belanda, serta memastikan bahwa kekuasaan Belanda atas Indonesia akan berakhir. Semua orang Eropa dan kebanyakan orang lndo-Eropa dengan cepat disingkirkan ke dalam kamp-kamp tawanan. Di bidang pernerintahan, hal ini mendorong dipromosikannya orang-orang Indonesia ke jabatan pemerintahan yang Iebih tinggi, yang membantu meningkatkan rasa per...