You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
Johan tewas saat merayakan ulang tahun pernikahan dengan istrinya. Kematian yang mendadak itu membuat istrinya, Windhi, terjebak dalam dunia ganjil dan absurd. Kematian yang dialami Johan memang bukan seutuhnya sebuah kematian. Karena tidak lama setelah itu, Johan kembali hidup dalam bentuk roh yang bergetayangan di dalam tubuh seekor anjing. Sosok itu merasuk ke dalam tumbuh seekor anjing karena melarikan diri dari para malaikat maut. Windhi tidak memperdulikan wujud suaminya yang menjadi roh dan hidup di dalam tubuh seekor anjing. Bahkan cintanya telah tumbuh menjadi suatu hubungan tubuh yang sukar dimengerti akal sehat. Windhi secara sadar melakukan sebuah persetubuhan gelap dengan seekor anjing. Kisah dan gosip tentangnya menyebar luas, hingga sampai ke telinga suami barunya, dan juga sanggup menghantui benak para pembacanya.
Membaca cerpen-cerpen Risda bagaikan memasuki hamparan permadani yang amat lebar dan luas, yang di dalamnya akan membuat Anda bingung bila Anda tidak berjalan dengan pelan, hati-hati, teliti, dan penuh perhatian. Tentu, diperlukan kecerdikan teknik untuk mampu menyulam benang-benang cerita itu hingga menjadi hamparan permadani yang indah dan utuh. Di luar aspek permadani itu, Risda memantulkan cermin bening keluasan bacaan dan permenungan yang tak main-main. Di cerpen Mersault yang menjadi judul kumcer ini, misal, Risda yang sengaja tidak menuliskan “Meursault”, tetapi Mersault –dan itu benar saja—mengajak Anda untuk berziarah ke sosok Albert Camus. Ya, Camus! Edi AH Iyubenu
"Jika Pramoedya berkata bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian, barangkali saya harus berhenti menulis. Sebab saya takut dengan keabadian. Saya takut dengan sesuatu yang tidak pernah berakhir." * Saya memakai istilah apeirophobia sebagai judul buku, padahal tidak ada cerita pendek yang berjudul itu, karena dua hal, yang pertama adalah karena saya merasa diri saya memiliki phobia itu. Kedua, karena sebagian cerpen di buku ini adalah semacam tribute bagi seorang musisi yang juga takut terhadap keabadian. Apeirophobia adalah rasa takut yang sulit dijelaskan. Sekalipun telah ada definisinya, menerangkannya secara detail adalah perkara yang rumit, terutama kepada mereka yang tidak mengalami...
Manusia menuliskan pengalaman hidup dan peristiwa-peristiwa penting agar menjadi catatan sejarah. Dari sejarah kita bisa belajar, sekaligus merefleksikan pengalaman. Itulah sebabnya kisah-kisah dalam buku ini, yang menceritakan peristiwa pandemi Covid-19, akan menjadi penting tidak saja untuk kita yang hidup saat ini, tetapi juga untuk generasi mendatang. Buku ini merupakan hasil kegiatan bertajuk “Nulis dari Rumah” yang diselenggarakan Kemenparekraf, berkaitan dengan pandemi Covid-19, terutama ketika banyak orang memilih untuk berdiam di rumah akibat pemberlakuan PSBB oleh pemerintah. Dari buku ini kita tak semata-mata mendapatkan hal ihwal informasi tentang pandemi Covid-19, tetapi jug...
Penduduk kota itu selalu merasa lapar. Setiap hari mereka memakan apa saja. Mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang, besi, tanah, dan bahkan bangkai. Di kota itu, rasa lapar terus melata dan mendatangi siapa saja…. Dongeng Pendek tentang Kota-Kota dalam Kepala Sulaman itu begitu rapi dan bersih. Tak ada darah mengalir ataupun luka berarti. Ia menjahitnya begitu saja. Seperti menjahit sebuah kain yang terbelah. Seperti menjahit sebuah luka yang menganga. Perempuan yang Menjahit Bibirnya Sendiri Suatu petang, Budhe pernah mendapati Maryam menangis sesenggukan di bawah pohon angsana di depan rumahnya. Ketika ditanya, Maryam bilang, bahwa ia tak berani pulang, karena pecel dan opak singkong yang dibawanya masih utuh. Di Antara Dua Pohon Angsana Kata Ayah memang benar, guci itu memang bukan guci biasa. Karena, dalam guci itu ada sebuah dunia. Aku tahu itu dari seorang kakek tua yang keluar dari sana. Kakek tua itu sangat tua, tapi ia terlihat baik-baik saja. Dunia dalam Guci
Seorang perempuan memergoki kejadian itu dan mencoba berteriak. Tapi nahas, telinga tajam sosok itu mendengar teriakannya. Ia berlari secepat kijang untuk menyergap dan menyerang perempuan itu hingga ia tak berdaya. Ia kembali ke jasad pria itu, memastikan nadinya telah berhenti, mengatur posisi tubuhnya seolah pria itu kecelakaan, dan menghilang di telan kelam malam. *** Cuplikan Cerpen Persembahan Terakhir untuk Ambe
563 kata tahi, 459 kata tinja, ditambah sinonimsinonim lainnya yang bertaburan. Di suatu dunia paska-apokaliptik, Bumi sudah hancur lebur, penuh kontaminasi dan tak aman untuk dihuni, kecuali di dalam suatu kubah metalik yang bagian dalamnya terlindungi dari kontak luar, dan di dalam kubah inilah hidup manusia-manusia yang masih tersisa. Sayangnya, di tengah puing-puing di dalam kubah tersebut, cuma satu toilet yang berfungsi, dan manusia-manusia harus mengantre panjang setiap harinya untuk melepaskan desakan hajat yang membebani otot-otot bokong mereka. Di dalam antrean inilah tokoh utama kita bertemu dengan seorang Pak Tua yang berdiri di belakangnya, seorang Pak Tua yang kemudian menawarkan cerita-cerita selagi menunggu; sebab menunggu antrean sambil mendengarkan cerita lebih baik daripada menunggu tanpa melakukan apa pun sama sekali, bukan?
Laut lekat dengan angin yang melahirkan ombak dan kemudian mengalun menuju pantai. Karakter laut pun mudah diprediksi sesuai dengan cuaca yang senantiasa hadir di atasnya. Di tangan para penyair, laut, angin, riak ombak, dan gelombang menjadi metafora yang bertaut dengan suasana hati manusia. Ia kadang garang, lembut, memesona, atau romantis. Di balik semua itu, laut menjadi misteri sekaligus kawan yang menyenangkan. Seorang pelaut jiwanya akan menjadi hidup dan bersemangat menyongsong cakrawala dengan kapalnya. Laut adalah kehidupan yang menjanjikan makanan berlimpah untuk menyambung hidup manusia yang berpencarian di sepanjang pantai. Setiap penyair di buku ini menyuarakan tentang laut, angin, ombak, pantai. Suara dan kenangan atas semua itu bermuara kepada rasa syukur, cinta, dan kebanggaan pada anugerah yang telah diberikan Yang Punya Kehidupan kepada setiap penyair di buku ini. Ekspresi puitik di setiap puisi dalam buku ini adalah tarian dinamis sebagai wujud apresiasi kepada alam semesta.
Selain sebagai sumber kehidupan dan sumber energi, pesisir juga berfungsi sebagai ruang ekspresi budaya dan religiusitas dengan menggelar aneka ritual. Beragam ritual berbasis budaya maritim berlangsung di berbagai wilayah pesisir, seperti Sedekah Laut, Labuhan, dan Petik Laut. Beragam ritual yang berlangsung di berbagai wilayah tersebut berpotensi menghadirkan tamu/wisatawan dalam jumlah besar dan menjadi ruang sosialisasi, promosi, dan pemasaran berbagai produk industri kreatif lokal. Sementara itu, kalangan sastrawan, seniman, pencipta lagu menjadikan laut, pantai, pesisir, atau samudra sebagai sumber inspirasi dan imajinasi yang menakjubkan.
On literary creative process of Balai Bahasa Yogyakarta Special Region from the perspective of Yogyakarta authors, 2007-2017; collection of articles.