You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
What does postcoloniality have to do with sacramentality? How do diasporic lives and imaginaries shape the course of postcolonial sacramental theology? Neither postcolonial theorists nor sacramental theologians have hitherto sought to engage in a sustained dialogue with one another. In this trailblazing volume, Kristine Suna-Koro brings postcolonialism, diaspora discourse, and Christian sacramental theology into a mutually critical and constructive transdisciplinary conversation. Dialoguing with thinkers as diverse as Edward Said and Gayatri Spivak as well as Francis D'Sa, S.J., Martin Luther, Mayra Rivera, and John Chryssavgis, the author offers a postcolonial retrieval of sacramentality th...
'Communion and otherness: how can these be reconciled?' In this wide-ranging study, the distinguished Orthodox theologian, Metropolitan John (Zizioulas) of Pergamon, seeks to answer that question. In his celebrated book, Being as Communion (1985), he emphasised the importance of communion for life and for unity. In this important companion volume he now explores the complementary fact that communion is the basis for true otherness and identity. With a constant awareness of the deepest existential questions of today, Metropolitan John probes the Christian tradition and highlights the existential concerns that already underlay the writings of the Greek fathers and the definitions of the early ...
This anthology hopes to contribute, in particular, to the analysis of the mutually constitutive interaction of the use of cyberspace and Asian cultures, with particular attention to ethical, feminist, and religious perspectives especially within Catholic Christianity.
Perkembangan sains dan teknologi membuat manusia mengalami amnesia, lupa akan identitas dirinya. Amnesia identitas diri membuat manusia memberikan diri dikuasai oleh jejaring sains dan teknologi. Di dalam situasi ini, tantangan utama bagi katekese adalah memulihkan kembali ingatan manusia bahwa ia bukan makhluk yang terdiri hanya dari daging/tubuh dan mesin (cyborg), melainkan pribadi yang memiliki daya spiritual. Dalam rangka pemulihan ingatan manusia akan kemanusiaannya, katekese menjadi proses belajar untuk menjadi semakin manusia. Proses belajar ini mencakup upaya-upaya: menghadirkan Yesus Kristus sebagai contoh pribadi manusia yang utuh; membuka ruang bagi umat beriman untuk mengalami keheningan, menciptakan makna, dan berbagi makna; mengembangkan daya kreatif dan sikap kritis umat beriman menanggapi perkembangan pesat teknologi.
Haruslah dikatakan bahwa buku ini tidak dimaksudkan untuk sekadar mendokumentasikan sesuatu yang telah berlalu, melainkan untuk bersyukur atas karya Roh Allah yang telah membarui Gereja secara radikal guna menarik inspirasi untuk melangkah ke depan. Refleksi atas pengalaman-pengalaman menghadirkan Gereja di tengah masyarakat dan pembacaan kembali dokumen-dokumen Konsili Vatikan II merupakan ajakan untuk menatap ke depan, memikirkan langkah-langkah agar Gereja menjadi semakin hadir dalam kehidupan bersama di tengah masyarakat yang semakin maju demi hadirnya Kerajaan Allah dan terwujudnya keselamatan segenap bangsa manusia (bdk. GS 45). Konsili Vatikan II membuka peluang untuk melangkah ke depan, meniti peziarahan melalui padang gurun ketidakpastian dan berbagai macam kesulitan, bersama semua orang menuju kepenuhan hidup (bdk. Yoh. 10:10b)” (Pengantar Editor).
None
Buku ini mengajak kita untuk tidak takut mencoba, tidak suka mengeluh, apalagi menyerah. Buku ini juga mengingatkan kita untuk terus belajar, berani menjadi diri sendiri dengan potensi yang dimiliki, menjadi muslimah tangguh dan berdedikasi tinggi. Sebuah buku yang memotivasi, dan wajib dibaca oleh para muslimah. Dipaparkan dengan gaya bahasa yang renyah dan bersahabat, membuat buku ini asyik untuk dilahap. (Genta Hidayah, Motivasi, Islam, Motivasi Islami, Muslimah)
Sudah lama teologi Kristen bergulat dengan ketidakcerdasan sosial-kultural menghidupi konteks pluralisme religius-kultural. Sikap buta, memusuhi konteks dan mengeras dengan identitas kolonial sangat kuat dalam praksis ber-teologi, eklesiologi dan misiologi. Ini adalah bunuh diri teologis. Mengapa demikian? Berteologi kontekstual tidak akan pernah relevan dan mencapai tahap fungsional jika wawasan-wawasan yang ada di dalam konteks sudah dihakimi. Sikap mengeras dengan paradigma lama juga bentuk dari ideologi panik anti konteks yang payah dan kadaluwarsa. Di sinilah, merayakan ‘Sang Liyan’ adalah sebuah interupsi tentang makna keberlainan. ‘Sang Liyan’ menggambarkan paradoks makna ‘s...