You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
Buku ini merekam dentam panggung musik dan detak diskusi literasi di pergelaran tahunan MocoSik Festival pada tahun 2018 di Yogyakarta. “Puisi itu Membuat saya bahagia. Saya mencoba membagi kebahagiaan dengan orang lain.” – Sapardi Djoko Damono, Penyair “Menulis adalah mencurahkan perasaan dengan terlebih dahulu direnungkan. Kata-kata akan berbicara lebih bila direnungkan dahulu: itu yang disebut sebagai proses kreatif.” – Seno Gumira Ajidarma, Prosais “Konser Festival MocoSik 2018 yang memadukan buku dengan lagu ini bagus. Kita mengajak semua anak-anak remaja untuk kembali ke buku. Giat dan gemar membaca buku. Dengan buku, kita akan tambah pengetahuan dan cepat mengingatnya. S...
Inilah buku pertama yang memuat puisi-puisi mbeling karya Remy Sylado, pencetus gerakan puisi mbeling, dari 1971 sampai 2003. Dipilih sendiri oleh sang penyair, 143 puisi dalam buku ini akan membuat kita tersenyum, tertawa terbahak-bahak, atau merenung. Namun jangan salah sangka, di dalam kelakarnya, Remy sebenarnya sedang bersikap serius. Dia menelanjangi sikap feodal dan munafik masyarakat kita, terutama di kalangan pemimpin bangsa. kesemenaan sekarang siapa yang bisa larang yang dulu lembut sudah berubah jadi garang dalam kampanye partai orang membawa parang seperti penyamun bopeng keluar dari sarang ….. betapapun cerita ini tidak kamu suka mengungkapnya berarti mencoreng muka tapi coba kenang itu pengalaman duka bahwa kedua orde memang membawa luka inilah waktu paling pantas kita buka satu kecut belimbing satu kecut cuka (bikin seperti gambar di bawah ini ya letak kata2nya)
Apakah agnostisisme adalah sekadar mengangkat bahu atas pertanyaan seputar Tuhan? Dalam buku ini, Le Poidevin menjelaskan bahwa agnostisisme tidak sesederhana itu. Dia membedah ulang pertikaian teisme dengan ateisme dengan memberi mereka (terutama ateisme) kedudukan baru, yang dengan itu mulai membangun argumennya bahwa agnostisismelah—bukan ateisme, kedudukan yang seharusnya diambil orang sebelum condong ke salah satu pihak. Sejauh ini, agnostisisme kebanyakan diarahkan ke bidang agama. Namun, Le Poidevin menunjukkan bahwa agnostisisme tidak semata-mata terbatas pada bidang tersebut. Ada agnostisisme dalam bidang-bidang lain, sains dan moral, misalnya. Tidak ketinggalan, Le Poidevin juga ...
Bisakah buku dan musik berada dalam satu panggung pergelaran? Bisa! Yang datang ke “MocoSik: Book and Music Fest” menemui sebuah peristiwa yang ganjil, beyond. MocoSik adalah akronim dari “Moco” (Jawa: baca) dan “Sik” (musik). Bisa pula MocoSik diartikan sebagai moco sik, baca dulu, ah. Sebuah kalimat cakapan yang menginterupsi, jeda. Membaca sejatinya ritus jeda; perjalanan menuju keheningan pedalaman batin, pergolakan pikiran dalam kesunyatan. Seperti halnya musik, praktik moco, kerja baca, adalah relaksasi sekaligus menjemput kegembiraan lewat gerak yang dipicu oleh salah satu saraf terpenting manusia, yakni indera dengar. Jika irama dalam buku adalah komposisi diksi dan tanda baca, maka nada-nada teratur dalam musik itu hasil komposisi balok-balok not.
Tidak semua bisnis keluarga mampu bertahan lintas generasi, kecuali yang dibangun dan dijalankan dengan fondasi kuat. Fondasi itu terutama mencakup nilai-nilai. Tanpa nilai-nilai, bisnis keluarga sulit membangun ciri khas yang diingat oleh pelanggan dan mudah memunculkan konflik internal. Kerukunan, kejujuran, kedisiplinan, pelayanan yang baik, kesantunan, dan profesionalitas sangat penting bagi kesuksesan bisnis keluarga. Great Family Business: Strategi Membangun Nilai Bisnis Keluarga Lintas Generasi membahas tata kelola, strategi, penciptaan nilai, manajemen konflik, dan pencarian peluang untuk memulai bisnis keluarga yang kuat, bermanfaat, dan berkelanjutan. Betapapun, bisnis keluarga dijalankan sebagai upaya untuk menjaga, melestarikan, serta menyebarkan nilai-nilai baik kepada segenap anggota keluarga demi keutuhan dan keberlanjutan keluarga itu sendiri, sekaligus memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat. Buku ini mengajak pembaca untuk melihat arti sukses dari sudut pandang yang berbeda dan mencari peluang positif dari berbagai kemungkinan.
Mengapa Ken Dedes bersedia dinikahi Ken Anggrok, sementara dia sangat tahu bahwa Ken Anggrok adalah pembunuh suaminya, Tunggul Ametung? Mengapa pula Ken Dedes mengungkapkan rahasia yang pada akhirnya menyebabkan kematian Ken Angrok? Tutur Dedes menceritakan apa yang berkecamuk di benak Sri Nareswari yang menurunkan raja-raja besar Jawa ini dari saat ia lahir – ya, ia kejadian yang mendebarkan itu – sampai menjelang moksa. Bersumber dari Pararaton, Amalia Yunus menghadirkan sosok Dedes yang jauh berbeda dari yang selama ini lazim dikenal. Dedes bukan perempuan pasrah yang hanya berarti kehadirannya karena kewanitaannya bersinar, melainkan seorang pendeka yang pintar bersiasat, bertekad kuat, dan bisa mendapatkan sekutu-sekutu dari sumber tak terduga. Namun, apakah pilihan-pilihannya membuat hatinya damai? Buku persembahan penerbit baNANA #baNANA
Dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir, Ikhwanul Muslimin menjadi fenomena paling menarik perhatian para pengkaji Islam Politik di Timur Tengah. Bergerak sebagai oposisi selama hampir 50 tahun, Ikhwan tampil ke permukaan setelah Hosni Mubarak jatuh pada tahun 2011. Pada Pemilu 2012, secara mengejutkan mereka memenangi Pemilu bersama kelompok Islamis lain, Salafi. Dari memenangi Pemilu, mereka melanjutkan petualangan politik ke Pemilihan Presiden, dan dengan sukses mendudukkan Mohammad Morsy, kader terbaik mereka, sebagai Presiden Mesir. Kemenangan politik Ikhwan menjadi bahan uji bagi para pengkaji Islam dan demokrasi. Benarkah Islam bisa kompatibel dengan demokrasi? Selama ini, para peng...
Buku ini adalah perenungan historis yang mendedah akar-akar feminisme, hak suara, pembebasan di tahun 1960-an, dan kemudian menganalisis situasi terkini para perempuan di seantero Eropa, Amerika Serikat, serta belahan dunia lainnya, terutama di negara-negara Dunia Ketiga. Margaret Walters membabarkan pelbagai kesukaran dan ketidaksetaraan yang masih dihadapi oleh perempuan, lebih dari 40 tahun setelah feminisme “gelombang baru” 1960-an—terutama kesulitan dalam menggabungkan ranah domestik, keibuan, dan kerja di luar rumah. Sebenarnya, seberapa banyak hidup perempuan sudah betul-betul berubah? Bagaimana menghadapi persoalan emansipasi wanita dalam lingkungan ekonomi dan budaya yang berbeda—misal di dunia Islam, Hindu, Timur Tengah, Afrika, dan sub-benua India? Margaret Walters menyajikan jawabannya secara lengkap dan mudah dipahami dalam buku ini.
“Saya tidak marah kalau Anda, seperti semua lidah Melayu, kepalang melafazkan ca-bau-kan menjadi cabo. Yang saya marah, kalau Anda kira ca-bau-kan atau cabo itu perempuan yang tiada bermoral. Ini pembelaan. Bukan hanya pembetulan.” Ca-bau-kan (Hanya Sebuah Dosa) adalah kisah cinta antara perempuan Betawi dan pedagang Tionghoa dalam latar awal abad ke-20 hingga pasca-kemerdekaan Indonesia. Remy Sylado menggunakan narator Ny. Dijkhoff, seorang perempuan Belanda yang datang ke Indonesia untuk mencari tahu asal-usul ibunya yang ternyata adalah seorang ca-bau-kan atau perempuan penghibur bagi masyarakat Tionghoa. Dalam kompleksitas tersebut, novel ini menyatakan peran masyarakat Tionghoa peranakan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
“Pendekar” mengantarkan kepada kita imaji sesosok humanis idealis yang soliter pembela kebenaran, kata lain dari “kesatria”, “hero”, “protagonis”. Biasanya sosok itu bekerja sendiri, berpenampilan dan punya keampuhan yang khas, spesifik. Buku ini memperkenalkan pendekar yang lain, “Pendekar Bahasa”. Siapa gerangan pendekar ini? Holy Adib mengutip Harimurti Kridalaksana yang memberi pemerian begini: “pendekar bahasa merupakan sarjana dalam bidang di luar ilmu bahasa yang menyumbangkan pikirannya bagi kemajuan bahasa (Indonesia) ...” Buku ini dalam satu hal menyajikan pelbagai pokok berkenaan dengan pernak-pernik bahasa Indonesia seperti tecermin pada penjudulan keenam tema yang membagi kumpulan tulisan ini: Asal-Usul, Sikap terhadap Bahasa, Kasus Bahasa, Salah Kaprah, Usul, dan Makna Kata. Dalam hal lain, di dalamnya kita melihat pantulan sikap Adib sendiri yang tegas terhadap fenomena kebahasaan di tanah air, terutama yang menyangkut kiprah ideal pendekar bahasa menurut dia tadi. Ia tak segan-segan menyatakan kegusarannya secara telanjang. Eko Endarmoko, Munsyi dan Penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia