You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
The articles presented in this book bring together educators’ work and experiences from around the world (Indonesia, Malaysia, Nepal, and Australia) in the context of teaching English as a Foreign Language (EFL). This publication, therefore, offers a richness and diversity of contexts and experiences to its readers. What sets this book apart is its balance between and explicit coverage of both research and the theoretical and practical aspects of teaching. This project has been prompted by the increasing split between the fields of linguistics, literatures and English language teaching, and will uniquely address this gap. Additionally, the volume gives practical applications on how to use theories of linguistics and literary texts in the classroom. This book provides undergraduate and graduate students, teacher-learners, practicing teachers, and teacher educators some theoretical and contextual knowledge of English language teaching practices and settings. Articles in this book can be used as supplementary texts for courses in the areas of English Language Teaching, pre-service and in-service teacher education, applied linguistics, literature, and language and culture studies.
"Connecting" and "distancing" have been two prominent themes permeating the writings on the historical and contemporary developments of the relationship between Southeast Asia and China. As neighbours, the nation-states in Southeast Asia and the giant political entity in the north communicated with each other through a variety of diplomatic overtures, political agitations, and cultural nuances. In the last two decades with the rise of China as an economic powerhouse in the region, Southeast Asia's need to connect with China has become more urgent and necessary as it attempts to reap the benefit from the successful economic modernization in China. At the same time, however, there were feelings of ambivalence, hesitation and even suspicions on the part of the Southeast Asian states vis-a-vis the rise of a political power which is so less understood or misunderstood. The contributors of this volume are authors of various disciplinary backgrounds: history, political science, economics and sociology. They provide a spectrum of perspectives by which the readers can view Sino-Southeast Asia relations.
Hendro Setiawan mengantar pembaca ke dalam garis besar pemikiran Maslow tentang manusia yang, itu kekuatannya, berdasarkan bukan pada spekulasi, melainkan pada amatan psikologis. Hendro Setiawan melakukannya secara kritis dengan juga menunjuk di mana terletak pelbagai keterbatasan yang tentu juga ada pada pemikiran Maslow. Buku Hendro Setiawan tidak hanya memperluas wawasan kita tentang salah seorang psikolog paling termasyhur abad lalu, melainkan dapat memperkaya dan memperdalam pengertian kita tentang siapa kita ini, kita manusia. Prof Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J.
On business and industry in Indonesia.
Dalam buku ini, penulis mengajak kita memikirkan kembali nilai kerendahhatian dan relevansinya bagi zaman ini. Walau nilai kerendahhatian masih sering muncul mewarnai pembicaraan kita sehari-hari, implementasinya dalam kehidupan masa ini memang patut dipertanyakan kembali. Dengan mengetengahkan tantangan-tantangan yang dihadapi manusia pada zaman ini, penulis mencoba menunjukkan sejauh mana nilai kerendahhatian telah meluntur dan menyebabkan ketegangan dalam hidup bersama di tengah masyarakat. Tulisan ini mengangkat peran modernitas di balik pelemahan implementasi nilai kerendahhatian. Dan sebagai konsekuensinya, pelemahan itu membawa beragam permasalahan nyata dalam kehidupan masyarakat modern yang membingungkan. Tulisan ini bisa dijadikan bahan refleksi atau pembelajaran dalam rangka melihat apakah nilai kerendahhatian dapat membantu manusia untuk menemukan jati dirinya. Penemuan jati diri sangat diperlukan untuk dapat menata hidup bersama yang saling menghargai, dan dalam rangka menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan yang indah seperti: kasih, pengorbanan, kemampuan menghargai perbedaan, cinta akan alam semesta, dll., yang sangat dibutuhkan manusia pada masa ini.
Walaupun sudah lebih dari 50 tahun dokumen mengenai status dan peran awam dalam Gereja, yaitu Apostolicam Actuositatem, dari Konsili Vatikan II, diterbitkan dan juga seruan apostolik Christifidelis Laici dari Paus Yohanes Paulus II, hadir di tengah kita, namun kegamangan masih tetap ada. Hal itu terjadi karena masih adanya pengertian atau pemahaman yang berbeda, ada begitu banyak tantangan dalam mewujudkan peran kaum awam di dalam Gereja dan perutusannya di tengah masyarakat luas. Dengan judul “Awam, Mau ke Mana?” para pembaca diajak berefleksi tentang peran awam di dalam Gereja dan menemukan jalan untuk menjadi saksi Kristus di tengah perkembangan dunia yang cepat berubah dan penuh dengan kompleksitas dan tantangan.
Masa tua adalah bagian tak terpisahkan dari keseluruhan hidup manusia. Mayoritas manusia di dunia ini hidup sampai usia tua, apalagi pada zaman ini ketika harapan hidup telah meningkat jauh dibanding masa-masa sebelumnya. Dapat dikatakan, menjadi lansia adalah masa depan seluruh umat manusia. Pertanyaan dasarnya: apakah benar memaknai masa tua sebagai “masa suram” yang tak terelakkan, “masa sia-sia”, masa menjalani hidup sebagai “beban” bagi keluarga, masyarakat, negara, dan dunia, atau masa mengisolasi diri dalam kesepian, masa putus asa? Benarkah hanya kelimpahan harta yang dapat menjamin kebahagiaan masa tua? Bagaimana apabila masa tua adalah masa puncak kebahagiaan hidup, masa emas? Mungkinkah? Jika benar, bagaimana cara mempersiapkannya? Apa yang harus dilakukan? Buku ini dimaksudkan membantu merefleksikan hidup dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, bukan hanya bagi para lansia, melainkan juga bagi seluruh umat manusia.
Buku Pergilah Kita Diutus berawal dari keprihatinan penulis bahwa dalam pelaksanaan sinode para uskup sedunia 2021-2023, justru tampak kesenjangan antara pemahaman awam secara umum tentang perutusannya dengan harapan Gereja lewat dokumen-dokumen terkait. Kesamaan pemahaman adalah prasyarat untuk “berjalan bersama” sesuai harapan sinode. Harapan Gereja (Konsili Vatikan II), khususnya tentang pemberdayaan awam. Buku ini dimaksudkan sebagai bentuk ambil bagian dengan menyumbangkan bahan bacaan, yang dapat membantu para awam untuk: memahami situasi dunia masa kini, memahami harapan Gereja terhadapnya, memahami panggilan perutusannya, dan memahami bagaimana caranya agar mampu ambil bagian dal...
Peradaban digital telah menjadi bagian integral kehidupan semua orang yang hidup pada masa ini. Perkembangan revolusi industri dari 1.0 hingga 4.0 telah terakumulasi pada terwujudnya peradaban digital saat ini. Dunia juga terus bergerak cepat menuju revolusi industri 5.0 dan penggunaan metaverse. Hidup manusia pada masa ini sudah tak terpisahkan dari penggunaan instrumen digital. Dunia maya sudah menjadi perluasan realitas manusia zaman ini. Peradaban digital juga membawa dampak negatif yang perlu diantisipasi. Salah satunya, fenomena banjir informasi yang melampaui apa yang dapat dicerna dan dipilah manusia. Hal ini berpotensi membingungkan sekaligus menjauhkan manusia dari kebenaran. Berba...
Orang sering menyamakan antara cacat logika dan sesat pikir. Dua istilah ini cenderung kita gunakan secara bergantian, seolah-olah sinonim. Padahal, keduanya berbeda secara subtil. Logical fallacy (cacat logika) adalah suatu bentuk penalaran yang cacat dalam sebuah argumen. Ini adalah suatu bentuk ketidaklogisan atau manipulasi yang dapat muncul dalam argumen untuk membuatnya terlihat meyakinkan, meskipun sebenarnya tidak valid atau tidak kuat secara logis. Adapun cognitive bias (sesat pikir) adalah distorsi sistematis dalam pemrosesan atau penilaian informasi yang dapat menyebabkan kesalahan dalam pengambilan keputusan. Ini adalah ketidaksempurnaan atau kecenderungan dalam cara manusia memproses informasi, terutama ketika dihadapkan pada situasi yang kompleks atau tidak pasti. Buku ini berisi daftar cacat logika dan sesat pikir yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Kecacatan logika, jika kita tidak mampu mengidentifikasinya, akan mengantarkan kita untuk membenarkan sesuatu yang salah secara logis, dan begitu juga sebaliknya, kita mudah menghakimi sebagai salah sesuatu yang benar.