You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
Tan Malaka, 1897- 1949, was an Indonesian Muslim, Marxist, philosopher, teacher, and founder of the Persatuan Perjuangan (Struggle Front), a coalition of groups negotiating the terms of Indonesian independence in the1940s. He was awarded the Government designation of National Hero in 1963. This book offers new findings regarding Tan Malaka's Islamic thought, and discusses how to analyse his works and legacy. These findings are novel and significant. Tan Malaka, as a left-leaning Muslim who embraced critical thinking, is still seen as a controversial figure in Indonesia and the wider world. Today, he is often discredited in history books. In fact, his Islamic ideas can provide answers to problems or themes in the discourse of Islamic studies today. The scope of this book falls within the scope of Islamic Philosophy, Islamic Political, and Social Science Studies. In other words, interdisciplinary. The specific purpose of this book is to fill in the gaps of analysis and new findings regarding Tan Malaka's Islamic thought. As well as providing new discourses in Islamic Political.
Living Art: Indonesian Artists Engage Politics, Society and History is inspired by the conviction of so many of Indonesia’s Independence-era artists that there is continuing interaction between art and everyday life. In the 1970s, Sanento Yuliman, Indonesia’s foremost art historian of the late twentieth century, further developed that concept, stating: ‘New Indonesian Art cannot wholly be understood without locating it in the context of the larger framework of Indonesian society and culture’ and the ‘whole force of history’. The essays in this book accept Yuliman’s challenge to analyse the intellectual, sociopolitical and historical landscape that Indonesia’s artists inhabite...
Percayakah kamu kalau kubilang saat ini pukul empat sore di matahari?” Seorang kritikus bernama Andi Lukito menerima naskah Kiat Sukses Hancur lebur. Naskah semacam novel itu karya Anto Labil, S.Fil., salah seorang anggota “tujuh pendekar kere”, sebuah persekutuan sastra radikal decade 90-an yang aktif di Kota Semarang. Naskah yang ditulis dengan gaya bahasa seorang pemabuk yang hamper pingsan itu membuat Andi merasa tidak pernah cukup meneguk zat asam saat menyuntingnya. Dengan simpati yang meluap-luap Anto Labil membabarkan sekian perkara: apa itu business, kegunaan manajemen bisnis, dasar-dasar akuntansi garda depan, pemrograman computer sepuluh jari, kisi-kisi ujian masuk CPNS, etika hidup (dan bunuh diri yang baik) di apartemen, dan masih banyak lagi. Di satu bagian, Anto bercerita bagaimana penampakan lele—hewan air sahabat terbaik para perenung—di Sendangmulyo mengilhami lahirnya lagu legendaris “Perdamaian” dari grup kasidah Nasida Ria Safari. Kiat Sukses Hancur Lebur adalah novel debut Martin Suryajaya yang bakal membuatmu merasa seluruh hidupmu sebelum memegang buku ini baik-baik belaka. Buku persembahan penerbit Banana #Banana
Anto Labil mendamparkan dirinya dengan sebuah perahu curian ke sebuah pulau tak berpenghuni, setidaknya itu yang ia yakini, setelah acara Temu Sastra Indonesia di Ternate yang membuat penyair, novelis, cerpenis, kritikus, dan banyak lagi yang mengaku sebagai sastrawan terlunta-lunta tak bisa pulang. Alih-alih gelagapan memikirkan bagaimana caranya kembali ke kota asal, Anto Labil malah merasa beroleh panggilan ke Selatan. Dan, betapa luar biasa yang akhirnya menghantam Anto Labil, si penyair higienis itu. Di pulau kecil itu ia beroleh penglihatan tentang sastra Indonesia: dari atas, bawah, samping kanan dan kiri, pula di mata badai pusarannya. Ia menyaksikan sejumlah penulis yang berdarah Mi...
Performance art, sebagai praktik seni, persis, berada dalam bayangan medan pasca-seni. Afrizal Malna menarik kesimpulan ini melalui garis waktu dari Perang Dunia Pertama dan Kedua, dan sejumlah karya yang menandai pelumeran batas-batas seni, membawa kita kepada medan pasca-seni dalam rujukan “the end of art” Arthur Danto. Melepas seni dari lekatan rasionalitas yang menempatkan rasa atau pengalaman sensorik sebagai objek penalaran logis. Bisa jadi ini merupakan buku pertama tentang performance art di Indonesia, bersama dengan sejumlah epifenomenanya seperti performance lecture, performance digital, seni media, video performance, dan performance-performing. Buku ini merupakan kumpulan esai dari pengalaman mengikuti beberapa platform performance art, sedari tahun 2000–2022.
Apa itu politik? Sejak kapankah tatanan politik muncul? Seperti apakah bentuk pemerintahan yang paling ideal itu? Apa sajakah komponen dari pengetahuan politik? Apakah hubungan antara politik dan etika? Bagaimanakah wacana soal kebebasan muncul untuk pertama kalinya? Itulah sebagian pertanyaan yang diajukan dan diuraikan dalam Sejarah Pemikiran Politik Klasik: Dari Prasejarah Hingga Abad ke-4 M. Dalam buku ini diuraikan sejarah perkembangan pemikiran politik sejak masa prasejarah hingga abad ke-4 Masehi, dalam tradisi Barat maupun Timur. Pemikir yang dibahas mencakup sosok yang relatif dikenal seperti Plato, Aristoteles, dan Cicero, hingga sosok yang masih langka dibahas di Indonesia, seperti Thoukydides, Polybios, dan Kautilya. Dipenuhi dengan penelusuran ke sumber-sumber primer, buku ini membekali pembaca dengan piranti konseptual yang berguna bagi kajian sosial dan politik, sejarah pemikiran serta filsafat. Buku persembahan penerbit MarjinKiri patjarmerah virtual
Gagasan emansipasi telah memainkan peran sentral dalam teori dan praktek pendidikan modern. Tuntutan untuk memodifikasi pembelajaran yang berpusat pada siswa sebagai subjek belajar (children centered learning) menunjukan kuatnya gagasan emansipasi yang selama ini menjelma ruh utama praktik pendidikan yang kita lakukan. Jacques Ranciere adalah salah satu dari sekian orang yang memberikan perhatian yang cukup mendalam terkait emansipasi ini, dari sekian banyak karya yang dia tulis kesetaraan menjadi isu utama dari gagasan pemikirannya. Hal yang penting dari pemikiran Ranciere pada dasarnya terletak pada kenyataan bahwa ia mampu menunjukan apa yang sering kita anggap dan juga kita lakukan atas ...
Buku bertajuk Merayakan Indonesia Raya ini disusun untuk memperingati kelahiran lagu kebangsaan Indonesia Raya dan menjadi bagian dari buku Pendampingan Sejarah di Sekolah. Lagu yang digubah oleh Wage Rudolf Supratman ini diperdengarkan pertama kali pada Kongres Pemuda Kedua, suatu perhelatan besar yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Oleh karenanya, buku ini diawali dengan uraian yang panjang tentang zaman yang membidani kelahiran Indonesia Raya, yakni sejarah pergerakan kebangsaan di seputar Sumpah Pemuda. Selain itu, dalam buku ini dipaparkan juga riwayat sang pencipta lagu Indonesia Raya. Bagaimana W.R. Supratman mulai menggubah musik, bagaimana ia mulai terjun ke dalam aktivisme kebangsaan,...
Pemikiran Amartya Sen, tokoh dari Bengala dan pemenang Nobel ekonomi, telah mendobrak pengertian kuantitatif-tradisional tentang tujuan pembangunan dengan menekankan bahwa yang menentukan bagi mutu eksistensi manusia yang utuh adalah peluasan keberdayaan dan kebebasannya. Dalam buku ini penulis mengantar pembaca ke pusat pemikiran Amartya Sen itu. —Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno Pengajar di Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Setiap klaim kebebasan biasanya membawa-serta efek samping bentuk baru perbudakan. Itulah mengapa cita-cita kebebasan perlu terus-menerus dikawal dengan kritik dan penggalian. Buku ini adalah salah satu pemandunya. —Dr. B. Herry-Priyono Pengajar d...
Kumpulan esai-esai di ranah sastra dan pendidikan sastra yang ditulis Setia di berbagai media sebelumnya. Buku ini memuat banyak gagasan-gagasan serta kritiknya yang tajam. Bisa dikatakan buku ini adalah bentuk pemberontakannya. Buku memenangkan Penghargaan ACARYA SASTRA 2017 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Penerbit Garudhawaca