You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
None
Kitong bakalai sendiri, atau kita saling berkonflik adalah satu dinamika politik di tanah Papua, pasca kehadiran Otsus dengan uang yang berlimpah, demokrasi (elektoral) dengan kontestasi politik dan kebebasannya, serta pemekaran daerah otonomi baru, dengan kesempatan meraih jabatan dalam pemerintahan daerah: lambatnya agenda pembangunan dan kesejahteraan bagi masyarakat Papua. Kitong Bakalai Sendiri, didorong oleh menguatnya (sentimen identitas) politik identitas yang dipraktek. Senada dengan ungkapan Francis Fukuyama bahwa "Dunia abad ke-21 adalah masa dimana identitas sebagai komoditas politik yang kuat, artinya pertarungan politik cenderung didasarkan pada identitas, dibanding pertarungan...
Pemilu adalah sebagaimana permainan sepakbola. Dalam permainan sepakbola, tidak mungkin adanya pelanggaran, hanya saja apakah pelanggaran yang terjadi masih dalam batas-batas yang dapat ditoleransi (tolerable), ataukah melampaui ambang batas toleransi (intolerable), demikian halnya pelaksanaan Pemilu, selalu terdapat pelanggaran-pelanggaran, yang tidak saja dilakukan oleh peserta Pemilu dan anggota masyarakat, juga bahkan oleh penyelenggara Pemilu itu sendiri. Sejarah politik Indonesia kontemporer mencatat, setiap kali Pemilu dilaksanakan, selalu saja muncul protes-protes yang meragukan proses maupun hasil pemilu. Hal ini tidak hanya terjadi pada Pemilu-Pemilu pada masa Orde Baru, tetapi jug...
Bangsa Indonesia layak mendapat predikat sebagai bangsa "sejuta pemilu." Dikatakan demikian, karena peristiwa pemilihan legislatif, pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah hingga pemilihan kepala desa terus berlangsung tanpa henti. Implikasi dari banyaknya proses pemilihan membuat masyarakat semakin terbiasa dan semakin cerdas dalam menentukan pilihannya pada proses politik pemilu. Hal ini menandakan bahwa masyarakat semakin "melek" terhadap proses penyelenggaraan pemilu.
On the activity of political elites for their victory in local election in Kalimantan Timur, Indonesia.
Buku ini sangat penting dan relevan untuk melakukan koreksi dalam pembuatan undang-undang di masa yang akan datang karena beberapa hal sebagai berikut. Pertama, UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu proses penyusunannya tidak di tuntun oleh roh, gagasan dan cakrawala yang jelas, yaitu untuk mewujudkan pemerintah yang efektif serta mampu membuat kebijakan yang berorientasi kepada kepentngan rakyat banyak. Sehingga pembahasan hanya bersifat teknikal prosedural; wacana yang ditangkap publik, orientasi para pemutus politik hanya distimulir untuk kepentingan subyektif partai politik. Kedua, tertib politik demokrasi sangat rumit dan pelik. Opsi kebijakan atau putusan politik tidak mengenal benar dan salah, karena setiap regulasi memuat pertarungan kepentingan. Oleh sebab itu, meskipun buku ini memaparkan secara detail pilihan sistem pemilu disertai dengan berbagai komparasi dengan negara-negara lain, namun sangat kental dengan transaksi kepentingan. Akibatnya, UU ini terlalu banyak cacatnya, sehingga alih-alih dapat menjadi sarana konsolidasi demokrasi, tetapi justru membuat manajemen kekuasan negara semakin korup (rusak). Buku persembahan penerbit Formappi
None
Role of churches in Indonesia; volume commemorating the 75th anniversary of GKI Kwitang (Indonesian Protestant Church).
Role of Christian churches in supporting socio-economic and political development toward national unity, based on Pancasila, the state philosophy of Indonesia; proceedings of conference.
Hukuman fisik (corporal punishment) merupakan salah satu jenis kekerasan fisik pada anak yang banyak menuai perdebatan di berbagai kalangan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Perdebatan tersebut telah memicu setidaknya dua hal, pertama, kerancuan konsep hukuman fisik dengan kekerasan fisik murni (penganiayaan). Kedua, penormaan larangan penggunaan hukuman fisik dengan menggunakan sarana hukum pidana atas dasar hak asasi anak dan perlindungan anak. Kondisi ini telah menempatkan orang tua dan guru dalam posisi yang dilematis, dan rentan untuk dikriminalisasi, sehingga perlindungan orang tua maupun guru dalam melaksanakan fungsi pengasuhan maupun pendidikan seolah-olah terabaikan. Kedua hal tersebut tentunya memberikan cukup sinyal untuk pembaruan hukum pidana di Indonesia terkait dengan pengaturan larangan hukuman fisik pada anak yang mengintegrasi aspek perlindungan anak dan perlindungan orang tua/ guru secara seimbang.