You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
Tak terasa sudah dua puluh tahun era reformasi bergulir yang ditandai mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Banyak yang sudah dicapai, tetapi sulit dibantah, tidak sedikit kegagalan dalam mewujudkan Indonesia yang lebih mandiri, bermartabat, adil, dan sejahtera. Korupsi yang marak, menguatnya politik identitas dan politisasi SARA, lemahnya penegakan hukum dan HAM, merosotnya komitmen ber-Pancasila, dan absennya visi kebangsaan para elite politik, saling berkelindan di tengah kebanggaan semu sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sesudah India dan Amerika Serikat. Alih-alih menikmati demokrasi substansial yang terkonsolidasi, bangsa kita justru masih terperangkap praktik demokrasi elektoral dan elitis yang bersifat prosedural. Buku ini menimbang pencapaian reformasi di Indonesia pasca-Orde Baru. Ada empat kelompok tema yang ditimbang oleh para penulis yang seluruhnya merupakan peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI, yakni: (1) pencapaian reformasi menuju sistem demokrasi; (2) reformasi sistem perwakilan, pemilu, dan kepartaian; (3) reformasi sektor keamanan; dan (4) reformasi hubungan pusat-daerah, desentralisasi dan politik lokal.
Buku ini mengulas konflik internal PPP dan PKS yang terjadi pada dekade kedua pascareformasi. Pada dekade ini, kedua partai yang mencantumkan "Islam" sebagai asas partai tersebut mengalami berbagai konflik. Beberapa konflik diakibatkan perbedaan dukungan dalam koalisi pencapresan, perebutan jabatan ketua umum, juga konflik yang melibatkan individu dengan elite partai (ketua umum).
Dengan hanya menyebutkan nama Megawati, Prabowo, Gus Dur, Amien Rais, dan Surya Paloh, tentu kita sudah dapat membayangkan partai-partai apa saja yang direpresentasikan oleh masing-masing elite tersebut. Pada era reformasi ini, justru identitas individu elite melekat pada partai politik dengan sangat kuat. Sosok ketua umum atau jabatan strategis lainnya tidak hanya menjadi pemimpin dan pengelola partai politik, tetapi lebih dari itu menjadi citra (image) partai politik. Hal ini sesungguhnya menandakan adanya gejala personalisasi politik pada partai-partai politik di Indonesia. Personalisasi partai politik tidak hanya berlangsung pada satu dua partai saja, tetapi dialami atau pernah menggejala hampir di semua partai berpengaruh di Indonesia dalam dua dekade terakhir. Mengapa partai-partai politik di Indonesia mengalaminya? Padahal, Undang-Undang Partai Politik kita telah dirancang sedemikian rupa agar partai politik menjadi institusi yang demokratis. Lalu apa dampak personalisasi partai terhadap sistem kepartaian dan demokrasi negara ini. Buku ini mengulas secara komperehensif sebab dan dampak dari terperangkapnya partai-partai pada kecenderungan personalisasi politik.
Pemilihan umum tahun 2019 diselenggarakan dengan skema serentak. Antara pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan. Skema keserentakan ini didasarkan pada Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. Salah satu harapan dari pemilu serentak ini adalah sebagai upaya penguatan sistem presidensialisme di Indonesia. Sebagai skema yang baru pertama kali diterapkan di Indonesia, harapan akan dipraktikkannya skema pemilu serentak dan seperti apa implikasinya mendorong kajian ini. Apakah dengan perubahan skema pemilu tersebut akan berpengaruh pada upaya penguatan sistem presidensial di Indonesia? Salah satu hal yang dicermati dalam sk...
Buku ini mengulas aktivitas Maulana Habib Luthfi Bin Yahya di berbagai organisasi yang dipimpinnya dan di manapun tempat pengajian dan ceramahnya ataupun di lembaga resmi negara yang beliau menjabat. Bermanfaat tidak saja bagi Indonesia, tetapi juga negara lain. Sebagai pimpinan utama organisasi tarekat terbesar se- Indonesia dan Majelis Kanzus Sholawat, beliau selalu menyeru seluruh komponen bangsa untuk merawat NKRI. Hal yang sama beliau lakukan dalam statusnya sebagai Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres RI) dan selaku Ketua Ahli BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme).
Pemilu 2019 untuk pertama kalinya diselenggarakan dengan skema serentak. Dalam skema ini, pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan dalam waktu bersamaan. Skema ini berbeda dengan skema pemilu-pemilu sebelumnya di era reformasi, yakni pemilihan legislatif pelaksanaannya mendahului pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden. Dengan skema keserentakan, yang dicermati adalah bagaimana partai politik menyiapkan calon atau kandidatnya baik untuk pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Bagi partai politik, untuk mendapatkan calon-calon yang akan diajukan dalam surat suara pemilu dilakukan melalui proses seleksi. Selain kandidasi, partai politik juga membangun koalisi untuk mengajukan calonnya dalam pemilihan presiden. Buku ini mengkaji mengenai kandidasi dan koalisi partai politik pada Pemilu Serentak 2019. Di dalamnya membahas sistem pemilu serentak, kandidasi untuk pemilihan legislatif tingkat pusat, kandidasi pemilihan presiden, dan koalisi partai politik.
Pada era reformasi ini, partai politik kerap dirundung oleh persoalan konflik internal dan perpecahan partai. Partai-partai berpengaruh yang memiliki kursi di parlemen nasional, tanpa terkecuali, pernah mengalami konflik. Konflik internal partai itu, bahkan beberapa di antaranya berujung pada keretakan dan pembentukan partai-partai baru. Situasi ini tentunya amat disayangkan mengingat partai memiliki fungsi sentral untuk melakukan rekrutmen jabatan politik penting, komunikasi politik, kontrol politik, serta mendorong konsolidasi demokrasi di Indonesia. Hal yang menjadi pertanyaan adalah mengapa konflik internal dan faksionalisasi partai kerap terjadi, padahal, sejak tahun 2002, Undang-Undang telah disusun untuk mencegahnya. UU Partai Politik telah mengatur secara khusus mengenai manajemen konflik partai, bahkan melakukan beberapa kali amandemen untuk menyempurnakannya. Pertanyaan besar lainnya adalah, apa saja dampak dari berbagai konflik internal dan perpecahan partai terhadap organisasi partai, sistem kepartaian dan demokrasi di negeri ini. Buku ini mengulas secara lengkap sebab dan dampak dari konflik internal dan perpecahan partai politik yang berlangsung selama era reformasi
On process and result of 2014 elections in Indonesia.
“Orang juga sudah mulai memikirkan untuk meng-upload kesadaran manusia (yang diasumsikan berupa miliaran gigabyte data yang tersimpan di dalam otak) ke dalam komputer; jiwamu ditransfer pada robot. Bayangkan, kau hidup selama tahun, dan tubuhmu menyerupai laptop, sementara kesadaranmu berupa harddisk. Menurutku agak mengerikan, tapi apakah juga sama mengerikannya di masa-masamu!?”
Buku yang sekarang hadir di tangan pembaca membahas dan menganalisis berbagai aspek yang berhubungan dengan pemilu campuran. Teori maupun praktik yang dikembangkan di sejumlah negara diuraikan secara lebih mudah. Selain melihat sejumlah pengalaman negara lain dalam menerapkan pemilu campuran, dalam buku ini para peneliti juga mencoba mendesain bagaimana seandainya pemilu campuran akan diterapkan di Indonesia. Desain pemilu campuran mana yang dianggap lebih fisibel, tidak akan menimbulkan kegoncangan politik karena perubahannya tidak drastis dan ekstrem atau sifat perubahannya lebih lunak (soft change) tetapi membawa dampak perubahan dalam penataan sistem politik, dan demokrasi yang lebih baik.