You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
The echo of Luther’s hammer resounds in Asia, five hundred years after the Wittenberg controversy: the cross is a flashpoint in China; Korea seeks ecclesiastical reform; the mystical union thrives in Laos; even Kant whispers in old Batavia. The diversity of ideas and influences of the Reformation is as broad and fascinating as the continent—resisting reduction to the postcolonial movement and demonstrating an affinity with Protestant foundations that somehow remains uniquely Asian. This volume brings together the reflections of Christian academics from the continent to offer a sample of the theological work that remains largely inaccessible to the broader scholarly community, with contributions in the fields of theology, biblical studies, philosophy, and Christian higher education. If the quincentennial of the Reformation has revealed anything, it is the inauguration of Asia as the locus of biblical and theological scholarship for the next five hundred years.
This volume examines (1) the philosophical sources of the Kantian concepts "apperception" and "self-consciousness", (2) the historical development of the theories of apperception and deduction of categories within the pre-critical period, (3) the structure and content of A- as well as B-deduction of categories, and finally (4) the Kantian (and non-Kantian) meaning of "apperception" and "self-consciousness".
Bacaan tentang bagaimana proses pemikiran filsafat selalu menjadi hal yang menarik untuk dibaca bagi sebagian orang. Dengan kata lain, dapat dilihat bagaimanakan ilmu filsafat itu berkembang. Filsafat dibilang merupakan ilmu dari segala ilmu yang ada, sebab filsafat merupakan pertanyaan tentang keberadaan. Buku ini menelisik bagaimana pemikiran filsafat dai tiga tokoh yang diambil yaitu Descartes, Spinoza, dan Berkeley. Dengan mengambil inti dari pemikiran mereka, buku ini menarik untuk yang ingin mempelajari inti filsafat dasar dari ketiga tokoh di atas tadi.
Sebagaimana yang dipahami kebanyakan para pengkaji hukum yang lebih memahami filsafat hukum secara abstrak, kaku, dan memungkinkan terjadinya perdebatan cukup serius antar masing-masing penganut aliran kefilsafatan tertentu. Segala pertentangan itu ternyata tidak hanya menghadirkan perdebatan yang cukup tajam antar masing-masing pencetus, tetapi, ibarat bola salju, perdebatan tersebut menggelinding dan memantik para penganutnya untuk bereaksi keras dan bahkan tidak jarang berujung pada vonis kekeliruan terhadap aliran kefilsafatan tertentu. Fenomena tersebut juga tampak terhadap dinamika kefilsafatan hukum dewasa ini, dimana antar masing-masing kelompok justru lebih sibuk menghabiskan waktun...
Pada masa pandemi tahun 2020 jagat laman media sosial Facebook diramaikan dengan serentetan tulisan para “ahli”. Para penulis senior yang terkenal seperti AS Laksana, Goenawan Mohamad, dan Ulil Abshar Abdalla membuat Facebook menjadi lebih segar dan berbobot. Mereka menulis catatan panjang yang tema sains, saintisme, dan hubungan sains dan agama. Mengeja Indonsia merasa debat yang berbobot ini perlu di dokumentasikan sehingga tidak lengkang ditelan zaman, maka dengan segala kekuarangan kami persembahkan kepada penikmat perdebatan ini buku digital Sains, Saintisme, dan Agama.
Ada satu percakapan yang melibatkan Einstein di Princeton tahun 1946. Para saintis ditanya, “Anda bisa membuat bom atom. Bisa menelaah struktur atom, tapi tidak bisa men-device secara politik, yang membikin atom tidak merusak kita?” Einstein menjawab, “Itu sederhana. Sebab politik lebih susah daripada fisika.” Einstein tidak mengglorifikasi sains. Dan memang tidak sepatutnya diglorifikasi. Dalam banyak hal, sains itu pemilik problem. Dan itu bukan soal baru. Sains itu prestasinya luar biasa dan karena itu memperoleh otoritasnya. Dalam pemikiran mutakhir, sejak abad ke-19, mulai ada kritik terhadap sains. Martin Heidegger mengatakan, “Science doesn’t think.
Buku ini, terdiri dari 16 artikel, secara longgar membicarakan filsafat ilmu. Pembahasan cara kerja ilmu-ilmu dilakukan dengan bertitik tolak dari kajian murni filsafat. Ilmu-ilmu (khususnya sains) dikaji dari sudut pandang filsafat, misalnya, lewat aliran-aliran besar filsafat seperti Positivisme, Fenomenologi Edmund Husserl, Teori Kritis, dan Postmodernisme. Karena titik pijaknya filsafat, maka pembahasan diawali dengan cara kerja khas ilmu filsafat, yaitu dialektika. Karena itu pula, buku ini diberi judul Cara Kerja Ilmu Filsafat dan Filsafat Ilmu. Judul buku ini tidak menggunakan ‘epistemologi’, melainkan ‘filsafat ilmu’, karena isinya tidak mengkaji secara spesifik soal prosedur dan validitas keilmiahan sebuah ilmu. Semoga buku ini berguna bagi para penggemar filsafat dan khalayak umum (utamanya dari latar belakang ilmu-ilmu sosial) yang membutuhkan perspektif filsafat dalam penelitian-penelitiannya. Kebaruan buku ini, dibandingkan ragam buku filsafat ilmu yang telah ada, adalah pemaparannya yang terbuka tentang cara kerja ilmu filsafat.
Pada intinya akan selalu ada nilai, selalu ada yang tidak biasa dalam keseharian kita yang terlihat biasa-biasa saja. Maknalah yang membuat hidup menjadi berarti dan layak untuk dihidupi. Selain sudah pasti memperbincangkan semua filsuf klasik termasuk Socrates, Plato dan Aristoteles, segendang sepenarian dengan itu semua, penulis juga memaparkan beberapa pandangan filsuf lainnya seprti Marx, Nietzsche, Aquinas, Hume dan Sartre, karena kelimanya memberikan pandangan yang baru dalam hidup. Mereka menunjukan usaha mereka yang luar biasa dalam mengupayakan kebenaran dan keadilan, sebagian dari mereka harus mengalami kematian dan kehidupan yang tragis. Keadilan dan kebenaran tertutupi selama ini bisa saja karena orang-orang kurang memiliki minat terhadap filsafat. Politisi yang asing dengan filsafat sebenarnya dalam sudut pandang Plato cukup sulit untuk diberikan kepercayaan dalam memimpin kita. Filsafat setidaknya bisa memberikan kita jalan penerangan, sama halnya dengan agama, filsafat tidak bisa dipahami secara kaku namun harus seimbang, sehingga dalam tulisan di bab terakhir penulis mencoba memberikan catatan mengenai kombinasi filsafat dan kehidupan pergaulan sehari-hari.
Sangat berbeda dari agama, filsafat tidak berkhotbah menjanjikan surga atau mengancam dengan neraka. Misteri di balik tembok maut tidak bisa diterobos pengetahuannya, maka ia tidak berlagak tahu tentang isinya. Filsafat mengajar kita untuk menghadapi kematian apa adanya, dan hal itu mungkin dengan hidup yang baik sekarang ini dan di dunia ini. Empat renungan filosofis dalam buku ini tidak sekadar menggumuli pertanyaan apa itu kematian atau mengapa manusia mati, melainkan terutama bagaimana menghadapi kematian. Empat sumber tampil ke muka, yaitu filsafat samurai Jepang, Hegel, Heidegger, dan stoikisme. Ditulis oleh empat penulis yang lama menggeluti filsafat, buku ini menggugah pembaca untuk hidup baik bukan dengan nasihat-nasihat moral ataupun khotbah, melainkan dengan argumentasi dan analisis, terutama tentang maut.
Siapakah Goenawan Mohamad? Apakah ia menandai berakhirnya sebuah zaman? Zaman ketika sastra, jurnalisme, idealisme, dan perjuangan kebebasan berkelindan. Masa ketika sastrawan, wartawan, dan aktivis seringkali adalah sosok yang sama—sebagaimana GM, begitu ia biasa dipanggil. Jauh sebelumnya, kita mengenal nama-nama, antara lain, Tirto Adi Suryo di awal 1900-an, atau Mochtar Lubis di tahun 1950-an hingga 1970-an. Tradisi tritunggal wartawan-sastrawan-pejuang itu dilanjutkan GM, penyair sekaligus pemimpin Tempo, majalah berita yang didirikannya tahun 1971. Bayangkan, selama seratus tahun lebih, di sepanjang abad ke-20, kita sebenarnya terbiasa dengan bersatunya kerja wartawan, sastrawan, dan...