You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
5 Tahun boemipoetra, Pena Dilesatkan djoernal sastra boemipoetra, merupakan salah satu dari sekian djoernal sastra yang terbit di Indonesia. Kemunculannya diragukan banyak orang. Terutama dengan daya tahan hidup. Kuat berapa bulankah jurnal yang cuma dibiayai semangat dan senantiasa urunan/patungan para redakturnya itu. Di era kapitalistik seperti sekarang ini, keraguan tersebut sangatlah pantas. Ketika lebih banyak orang yang berlomba mengumpulkan harta, ternyata masih ada yang peduli menyisihkan harta untuk sastra. Untuk apa? Tentu untuk membangun kesusastraan yang lebih bermartabat. Mainstream kesusastraan bukanlah satu warna. Bukan melulu satu kanal. Yang lebih sering didiktekan para red...
Gelaran Almanak Senirupa Jogja 1999-2009 ini bukan sekadar ”Almanak”, melainkan ”Almanak +” lantaran menggabungkan banyak sekali model: Ensiklopedia, Kamus, Kronik, Who’s Who, Katalog, maupun Yellow Pages (Nama | Alamat). Ini adalah semacam ”buku pintar” seni rupa yang bisa dipegang oleh seluruh komponen yang berkepentingan dengan dunia seni rupa, terutama di Yogyakarta selama sepuluh tahun terakhir. Sebuah kota yang secara statistik, memiliki puluhan ribu seniman dengan aktivitas seni yang kaya. Karena itu kota ini kerap disebut sebagai produsen seni yang paling fantastik di Asia atau ”Makkah”nya seni rupa Asia. Buku ini diikat oleh empat kategori besar: nama (seniman), peristiwa (kronik), ruang (tempat/kawasan), dan komunitas (organisasi). Dari keempat ikatan itu lalu diturunkan menjadi tema-tema spesifik yang dirujuk dari perkembangan-perkembangan termutakhir dunia seni rupa selama sepuluh tahun sebagaimana yang terpetakan dalam daftar isi buku ini.
Dua proklamator kemerdekaan Indonesia, Sukarno dan Mohammad Hatta, memiliki sebutan lain untuk resensi buku. Sukarno menyebut “tilikan” atau mengamati dan memeriksa secara sungguh-sungguh suatu buku. Praktik menilik itu memang terasa saat membaca resensi-resensi buku yang dihasilkan Sukarno. Sementara, Hatta menyebut praktik meresensi buku dengan “kupasan” atau menganalis, mengulas, dan mengurai. Memang, dua nama itu, Sukarno dan Hatta, adalah juga peresensi/penilik/pengupas buku. Keduanya adalah dua dari puluhan nama yang disebut dalam buku ini yang menjadikan bacaan sebagai kancah berdialog dan berdialektika dengan cakrawala dunia lewat praktik meresensi. Buku ini, oleh karena itu, menjadi bagian tidak terpisahkan dalam praktik membaca dan menuliskan apresiasi atas apa yang sudah dibaca. Di satu sisi, buku ini menjadi panduan bagaimana menulis sebuah resensi atas buku yang dibaca. Namun, di sisi lain, buku ini memperlihatkan bagaimana bersiasat dalam membaca buku dengan tidak terpisahkan dari praktik masa silam. Rekaman atas resensi-resensi dari publikasi masa silam membuat buku panduan ini menjadi berenergi dan menggugah.
Penulis buku ini memiliki banyak gaya untuk mengutarakan penilaiannya atas buku-buku yang ia baca. Ada yang ditulis dengan gaya umum seperti memaparkan kelebihan dan kekurangannya. Ada yang diulas bergandengan dengan buku sejenis atau buku lain dari penulis yang sama. Ada yang ditulis mengikuti platform media sosial seperti Twitter, misalnya. Bahkan, ada yang tidak banyak diulas konten bukunya, tetapi lebih cenderung dibahas kejadian-kejadian apa yang menyertai kehadiran buku itu ke publik. Ke dalam enam bab, setumpuk resensi ini dibagi. Buku ini hadir untuk kembali menyuburkan geliat resensi buku tanah air. Ada semesta ide yang begitu luas dan penting di balik setiap punggung buku yang kita lihat di rak-rak toko buku atau perpustakaan. Resensi adalah media untuk membawa semesta itu ke dalam hati dan pikiran orang-orang di luar sana. Tentu saja, besar harapan buku ini bisa menstimulus ketertarikan Anda untuk serius menulis resensi di media.
Kumpulan tulisan dari para penulis terpilih. Tulisan-tulisan yang terangkum dalam prosiding ini mencakup topik-topik ‘seni dan agama’, ‘seni dan ekonomi’, ‘seni dan pendidikan’, ‘seni dan politik’, ‘seni dan psikologi’, serta ‘seni dan teknologi’. Secara keseluruhan, kita dapat melihat dua kecenderungan menyikapi hubungan antara unsur ‘arts’ dan unsur ‘beyond’ . Pertama-tama, beberapa penulis membahas representasi ‘beyond’ dalam ‘arts’ . Kedua, penulis lain membicarakan apropriasi atau aplikasi ‘arts’ untuk mempengaruhi ‘beyond’ . Persamaan antara kedua kategori ini yakni adanya asumsi bahwa seni bukan tindak intuitif personal semata, melainkan hasil olahan kognitif maupun teknis (sekelompok) person.
“Ketika cinta memanggilmu, maka dekatilah ia walau jalannya terjal berliku.” Begitulah kata Kahlil Gibran. Ya, cinta memang buta. Dia tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk datang dan pergi. Kisah-kisah nyata yang terurai dalam buku ini seolah menyadarkan kita bahwa cinta memang kadang tidak bisa dilogika. Menjadi orang ketiga dalam sebuah hubungan? Mau mengorbankan materi dan waktunya demi cinta? Nekad menjalin hubungan dengan pecandu narkoba, pasangan beda keyakinan, atau malah pasangan posesif yang ringan tangan? Jatuh cinta dengan saudara? Atau malah pernah mencintai pasangan sesama jenis? Semua kisah itu terangkum dalam buku ini. Mari, duduklah sejenak. Hangatkan hatimu dengan secangkir teh dan kisah-kisah nyata bertema cinta buta dalam buku ini dan biarkan urusan lain menunggu sebentar. Enjoy your tea time.
None
On performing arts in Indonesia; collection of articles.
"Ironisnya, semua pengorbanan masyarakat ini tak jua membuat pemerintah menyadarkan Indorayon, yang sekarang bernama Toba Pulp Lestari (TP), untuk menghargai masyarakat lokal, dan pemerintah menghentikan operasi pabrik. Sebaliknya, protes masyarakat dinilai sebagai tindakan kriminal, anarkhi, melawan pemerintah dan pembangunan, dan dihadapi secara represif dengan kekuatan birokrasi, polisi dan militer. Salah satu kasus paling mutakhir ialah penebangan pohon kemenyan milik masyarakat Pollung. Humbang Hasundutan, yang mendapat protes keras petani kemenyan. Ini menunjukkan bahwa karakter perusahaan itu sama sekali belum berubah" (Arifin Telaumbanua) "IIU/TPL merupakan wujud ideologi Neo liberal...
Not all readers in ancient Greece whiled away the hours with Homer, Plato, or Sophocles - at least, not always. Many enjoyed light reading, such as can be found in the pages of this lively anthology. Various types of popular writing - novels, short stories, books of jokes or fables, fortune-telling handbooks - trace their origins to the ancient Mediterranean. In fact, some of this literature was so successful that it remained in circulation for centuries, even into the Middle Ages. Translated into other languages, these works were the best sellers of their time and remain enjoyable reading today. They are also fascinating social documents that reveal much about the daily lives, humor, loves, anxieties, fantasies, values, and beliefs of ordinary men and women.