You may have to Search all our reviewed books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
Between 1999 and 2000, sectarian fighting fanned across the eastern Indonesian province of North Maluku, leaving thousands dead and hundreds of thousands displaced. What began as local conflicts between migrants and indigenous people over administrative boundaries spiraled into a religious war pitting Muslims against Christians and continues to influence communal relationships more than a decade after the fighting stopped. Christopher R. Duncan spent several years conducting fieldwork in North Maluku, and in Violence and Vengeance, he examines how the individuals actually taking part in the fighting understood and experienced the conflict.Rather than dismiss religion as a facade for the poli...
Ketika orang-orang mencari-cari oase bagian dari nilai indentitas bangsa yang hilang ditengah gersangnya kehidupan modern. Ketika jendela Istana Kesultanan Jailolo terkunci selama berabas-abad di bukit Tagalaya dan Borokasih di Limau Jiko Jailolo. Kegelisaan mangarungi gelombang kehidupan anak bangsa yang tiada hentinya bergejolak. Halmahera Barat menjadikan Festival Teluk Tailolo sebagai ikon kebudayaan baru melatari gerbang halaman Istana Kesultanan Jailolo. Buku dengan judul Kesultanan Jailolo dan Masarakat Halmahera, nerupakan hasil riset empat Kesultanan dan pearadaban Maluku Utara kerja sama Dinas Kerasipan dan Perpustakaan Provinsi Maluku Utara dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indones...
Buku ”Mozaik Rempah – Masa Lalu di Masa Kini” beranjak dari fakta sejarah di mana Maluku Utara merupakan satu di antara pusat rempah-rempah dunia di masa lalu. Pada masa lalu kawasan Maluku Utara (bersama Pulau Banda) dikenal sebagai pusat rempah cengkeh dan pala. Di masa kini, kawasan ini tidak hanya penghasil cengkeh dan pala, tetapi juga jenis rempah lainnya seperti kayu manis, kapulaga, jahe, dan sebagainya. Kenyataan sejarah dan keragaman rempah pada masa lalu dan masa kini di Maluku Utara menginspirasi buku ini. Buku yang disusun ke dalam enam bagian ini memuat beragam tulisan dari para penulis dengan berbagai latar bidang ilmu pengetahuan. Tulisan-tulisan tersebut menyoroti aspek kesejarahan rempah dan aspek-aspek lain dari rempah-rempah pada masa kini. Aspek-aspek tersebut meliputi kehidupan sosial rempah, aspek botani dari tumbuhan rempah, transformasi dan tantangan pengembangan rempah sebagai potensi, dan sumber daya pertanian sebagai satu di antara kekuatan ekonomi regional Maluku Utara dan Nasional.
Buku yang ada di tangan pembaca ini merupakan buku yang dapat memberi jawaban atau solusi bagi kekurangan seputar pendidikan agama di sekolah formal kita. Buku ini mengupas bagaimana pendidikan agama yang berperspektif pendidikan multikultur dapat menjadi solusi alternatif pascakonflik di daerah rawan konflik, khususnya Maluku Utara, agar pendidikan agama dapat meminimalisir, bahkan menghilangkan potensi konflik sosial yang timbul karena perbedaan agama. Kita berharap agar pendidikan nasional kita dapat mencetak generasi yang pandai dan berbudi sebagai modal terbesar bangsa
Buku ini adalah hasil kolaborasi beberapa penulis dari sudut pandang yang berbeda namun satu tujuan yaitu bagaimana cara agar mahasiswa atau pemuda dapat mengendalikan gerakan tradisi akademis sekaligus implementasi pengabdian pada masyarakat. Kami mendedikasikan buku ini untuk seluruh aktivis kaum muda terutama mahasiswa yang ingin memiliki kesadaran akan tugas yang diemban sebagai aktivis. Mahasiswa seharusnya lebih kreatif dan tidak bingung pada pergerakannya. Buku Ikhtiar Membangun Gerakan Mahasiswa Sebuah Manifesto disusun untuk memberikan informasi tentang relevansi mahasiswa atau kaum muda dan gerakan kemasyarakatan. Harapan kami buku ini bermanfaat untuk khalayak.
Buku ini mengambil judul Potret Tiga Panggung. Kata “potret” atau memotret merupakan kiasan yang berarti membaca, menggambarkan, dan menafsirkan kehidupan Kiai Haji Gani Kasuba pada tiga ranah kehidupannya yaitu sebagai dai, guru/pendidik, dan Gubernur Maluku Utara. Frasa “tiga panggung” dipahami sebagai ranah yang mencerminkan aspek kehidupannya. Tiga panggung dalam kehidupan sang kiai hanya dapat dipisahkan pada tataran konseptual dan tidak dapat diartikan sebagai tiga aspek yang terpisah dalam praktik kehidupan yang dijalaninya. Sering kali beliau beralih dari satu status ke status yang lain, dari peran yang satu ke peran yang lainnya. Begitulah yang terjadi berulang kali dalam si...
Buku “Memahami Sejarah konflik Aceh” (dulunya terbitnya dengan jadul “Atjeh Sepintas Lalu”) berbicara tentang sebuah penggalan sejarah Aceh. Kalau kita melihat dengan kacamata sekarang, buku ini pun sebenarnya sudah menjadi bagian dari penggalan sejarah Aceh. Karenanya, nilainya sungguh tak terpermanai. Lebih tak terpermanai lagi ialah penerbitannya kembali. Dengan membacanya sekarang, kita akan lebih dapat memahami dan memaknai peristiwa-peristiwa yang terjadi di Aceh pada masa itu. Sehingga kita dapat mengerti perkembangan Aceh sekarang. Tentu saja, Aceh pada hari ini jauh berbeda keadaannya disbanding sekian puluh tahun yang lalu. Sekarang pertentangan antara pandangan agama dan s...
Dari buku berjudul “Bujang Parewa Menggenggam Bara” ini, para pembaca dapat menemukan tiga kata kunci yang penting yaitu “Bujang Parewa”, “Menggenggam Bara”, dan “Menebar Asa”. Pertama “Bujang Parewa” merupakan sebuah istilah yang merujuk kelompok masyarakat pinggiran dalam budaya Minang, tempat asal sang tokoh. Bujang Parewa ini adalah kelompok anak muda yang terjerumus dalam arus negatif sebagai “juvenile delinquency” atau kenakalan remaja yang terseret pergaulan bebas. Kenakalannya tentu berdampak ke sekolah. Bujang Parewa ini dikenal gurunya sebagai siswa yang sulit mengikuti pelajaran, nakal dan susah diatur, suka melawan dan berkelahi. Tentu saja dalam keluargan...
When the Indonesian New Order regime fell in 1998, regional politics with strong ethnic content emerged across the country. In West Kalimantan the predominant feature was particularly that of the Dayaks. This surge, however, was not unprecedented. After centuries of occupying a subordinate place in the political and social hierarchy under the nominal rule of the Malay sultanates, Dayaks became involved in an enthusiastic political emancipation movement from 1945. The Dayaks secured the governorship as well as the majority of the regional executive head positions before they were shunned by the New Order regime. This book examines the development of Dayak politics in West Kalimantan from the colonial times until the first decade of the 21th century. It asks how and why Dayak politics has experienced drastic changes since 1945. It will look at the effect of regime change, the role of the individual leaders and organizations, the experience of marginalization, and conflicts on the course of Dayaks politics. It will also examine ethnic relations and recent political development up to 2010 in the province.